PEMBUNUHAN
CERPEN KARYA
SENO GUMIRA AJIDARMA
JAKARTA, 1978
SEORANG
PENGARANG CERITA-CERITA DETEKTIF (PENSIUNAN INTEL MELAYU YANG SANGAT DIBENCI
OLEH BANDIT-BANDIT) MULAI MENGGERAKKAN JARI-JARINYA DENGAN LINCAH DI ATAS MESIN
TULIS. IA SEDANG MEMULAI CERITANYA YANG BARU.
Ceritanya
begini:
Suatu
pagi seorang pencari kayu di hutan tercengang ketika dilihatnya air sungai
telah berwarna aneh, seperti sebuah alamat yang buruk.
Memang
tidak jelas benar apa yang telah terjadi.
Kemarin
petang ia memang melihat seseorang membawa golok dan menyeberangi sungai yang
dalamnya Cuma sebatas lutut dengan sangat tergesa-gesa. Tentu ia tidak bisa
menuduhnya begitu saja. Lagi pula, apa sih
yang sudah terjadi? Toh setiap pencari kayu, seperti dia sendiri, selalu
membawa golok, meski lebih kecil. Juga, air sungai yang aneh warnanya, tidak
selalu berarti malapetaka bukan?
Namun
pikirannya segera berubah.
Ia
melihat mayat. Ketika ia menyeberang dengan onggok kayu di punggungnya,
lututnya menyenggol sebuah benda, kepala manusia. Tubuh perempuan itu terbenam
sebatas leher. Tubuhnya penuh lubang-lubang bacokan ketika tukang kayu itu
mengangkatnya. Ia tercenung. Di hutang yang sepi begini apa pun bisa terjadi,
ia bergidik, bulu kuduknya meremang. Mendadak dilepaskannya mayat itu, dilemparkannya
onggokan kayu di punggungnya. Ia berlari dengan gugup ke arah kampungnya di
tepi hutan. Jaraknya cukup jauh. Makanya ia pun menderita sekali. Ia berlari
terus. Berulang kali jatuh, bangun lagi, jatuh lagi. Seolah-olah ia merasa
seorang pembunuh sedang menguntitnya. Meski napas tuannya itu tidak mengizinkan
lagi, ia berlari terus menerjang semak-semak, dengan penuh ketakutan. Tiba di
kampung, orang-orang terpaksa menenangkannya dengan mantra dan jampi-jampi,
sampai mulutnya bisa berbicara lancar.
Begitulah,
peristiwa itu menggemparkan.
Petugas
keamanan (yang rendah pangkatnya) mulai bertindak. Yang dicurigai, ditangkap,
digiring, dan disiksa agar mengaku. Paling tidak harus ada kambing hitam.
Reserse yang terkenal cerdik didatangkan dari Jakarta. Perempuan itu semasa
hidupnya memang sangat dikenal, sebagai istri seorang pejabat di kabupaten
tersebut, yang sangat cantik dan banyak beramal. Siapakah yang tega
membunuhnya? Seksi intel sibuk mengusut, terhadap seluruh penduduk dilakukan
interogasi, hasilnya nihil. Tidak ada yang bisa dikambinghitamkan agar membuat
Bapak senang.
Namun
reserse yang cerdik itu punya akal, bukan untuk mencari pembunuh, tetapi
menenangkan suasana. Ia mengadakan jumpa pers, agar koran-koran di daerah itu
memberitakan bahwa seseorang yang dicurigai membunuh untuk sementara telah
ditahan, dan akan diajukan ke pengadilan nanti bila telah tiba saatnya.
Tertuduh dikenal sebagai X, bekas pasien rumah sakit jiwa yang dulunya dikenal
menjabat sebagai wakil kepala lembaga pemasyarakatan di kota Y, tapi dipecat
karena menerima suap dari penyelundup asing yang ia sebutkan kabur. Berita itu
dimuat sebagai headling.
Beberapa
hari kemudian, masyarakat sudah melupakan kejadian tersebut, ditelan urusannya
sendiri-sendiri.
Yang
paling merana adalah si pencari kayu. Sejak peristiwa tersebut ia menjadi
seorang perenung. Kerjanya melamun saja di tepi sungai. Sampai suatu saat
seseorang menyapanya dari belakang dan bertanya, “Apa kabar?” ia menoleh dan
terperanjat. Seseorang itu adalah si pembawa golok yang dilihatnya dulu.
Ya,
tentu ia belum bisa menuduhnya, tetapi bukankah si pembawa golok itu orang
satu-satunya yang...
Cerita
itu terputus di sini, karena tanpa diketahui si pengarang, seseorang telah
menyelinap ke dalam ruang kerjanya, dan bertanya, “Apa kabar?” ia menoleh dan
merasa aneh.
Dan
disadarinya bahwa ia tak akan pernah bisa menjawabnya ketika orang itu
perlahan-lahan mengacungkan sebuah pistol yang tampak dingin ke arah
jantungnya.
sumber: senja dan cinta yang berdara
sering2 unggah yg kayak begini
BalasHapus