Mudik Dini

Malam itu kau telah dirundung pilu dan bimbang. Walau pun aku tidak pernah menyentuhmu, jantungmu berdetak hingga dapatku merasakannya di bangku samping tempat dudukmu. Antara ragu dan tidak kau selalu menatap layar ponselmu untuk menghilangkan kebingungan yang kini menjerat dirimu.



Bagaimana pun, ini malam minggu, waktunya kita bermadu kasih bersama layaknya kebanyakan remaja. Kau bahkan tidak menyuap satu pun dari sajian nasi di lipir itu. Kau sendiri yang mengajakku untuk bercengkerama sambil memakan sajian dari serabi bakar pesananmu. Kadang kau melamun merenungi nasib. Aku tahu kau enggan beranjak untuk pergi dariku. Atau memang angan-anganku saja begitu padamu.

Antara ia dan tidak, kau telah menyiapkan setumpuk pakaian musafirmu selama beberapa minggu. Setengah kilo telur yang kau rebus paruhnya kau berikan padaku. Separuh lagi kau bawa dalam dekapanmu. Tersisa sebilah kenangan yang tidak utuh. Aku menatapnya dan kau pun melepaskan laparmu karenanya. Secuil kau seduh sereal cokelat kental kesukaanmu. Kau tersedak seakan menahan siksa. Kulihat matamu berkaca-kaca. Saat itu aku tak ingin kau menetaskan mutiara harapan kesedihanmu.

Kau kembali menatap layar ponsel. Seakan-akan ada yang berucap di benakku, “mengapa ia tidak lagi menatapmu”. Aku sudah tak peduli. Bagiku, aku sudah senang bersamamu dan aku tidak ingin membuat masalahmu bertambah runyam. Yang ingin aku lakukan sekarang ialah memelukmu, membelaimu, tapi itu tak mungkin aku lakukan. Kau belum milikku seutuhnya. Masih di antara ada ikatan untuk berhenti atau melanjutkan impian kita.

Pagi esok, kau benar-benar memutuskan untuk pergi. Setelah kau terpaksa memesan tiket kereta, kau pun berpesan padaku untuk meninggalkan kota Jogja segera. “Sebelum wabah ini merambat luas dan DIY tidak lagi istimewa, kau sebaiknya harus segera pergi. Boleh jadi seminggu dua minggu ke depan semua transportasi cuti dari jadwalnya. Jika itu terjadi, kau akan resah gelisah ditimpa panik karena tidak dapat melakukan apa-apa. Jika kau kehabisan uang, atau jika uangmu banyak, kau mau makan apa. Jika kau tetap bertahan, persiapkan makanan untuk sebulan ke depan. Sekarang memang pilihan pelik, saranku kau sebaiknya pulang.” Itu yang kau ucapkan padaku ketika kau beranjak pergi.

Sebelumnya, kau telah mengatakan untuk bertahan di sini apa pun yang terjadi. Sebelum cita-cita tercapai untuk lulus menjadi seorang magister, engkau tidak akan mundur. Tekanan-demi tekanan telah merasuk ke dalam pikiranmu. Entah mengapa dirimu yang kokoh, pantang menyerah itu kini runtuh. Aku menyukai dirimu yang seperti itu. Namun, memang benar, kau telah menyelesaikan separuh tanggung jawabmu. Proposalmu telah disetujui, sedang aku malah menghawatirkanmu bukan pada masa depanku.

Tiga belas jam perjalananmu di kereta, selama itu pula aku menghawatirkan dirimu. Belum lagi kau melewati Surabaya. Kota itu menjadi kota kedua tertinggi dengan jumlah positif wabah. Kau kebingungan untuk makan, telur matang yang kau bawa telah tiada. Kau membeli dagangan kereta yang kau sendiri bilang tidak akan pernah untuk membelinya. Sekarang kau membelinya demi tidak turun dari kereta. “Mahal tidak apa-apa,” ucapmu padaku. Aku selalu menanti kabar tentangmu.

Katamu, kau melihat sesosok perempuan yang mirip denganku. Aku pun senang kau terbayang-bayang akan diriku. Namun, aku tidak senang jika kau kagum pada orang lain hingga menggantikanku.

*

Akhirnya kau sudah tiba di penginapan depan stasiun Ketapang. Kau langsung mencoba memejamkan mata namun tak bisa. Cukup lelah badanmu, kini kau termenung sejenak di dalam kamar mandi. Menatap canting merah muda itu membuatmu seakan-akan kau masih berada di Jogja. Ia, cantingnya sama dengan milikmu di sana. Sambil kau siram dan bersihkan sisa keringatmu.

Baju yang kau lepaskan sebelum beranjak mandi tadi, membuatmu jijik untuk mengenakannya lagi. Kau merasa takut dengan molekul-molekul virus yang menjadi wabah di negeri ini. Kau sisihkan baju-baju itu, lalu kau menutup badanmu dengan sampir pemberian ibumu. “Oh ibu”, ucapmu hingga kau membayangkan sosok ibumu sendang membelai rambutmu.

“Sabar, wabah ini akan segera berlalu”, kata ibumu kepadamu, dulu.

Terhanyut dalam dinginnya suasana malam. Saat kau sudah berada dalam peristiwa antara sadar dan mimpi, kau dengar dering ponselmu dan kau tutup kembali. Kau seakan-akan tidak peduli apakah aku yang mencoba menghubungimu, atau dering itu adalah notifikasi pesan dari ibumu. Kau membalikkan badan dan mencoba menjangkau ponselmu.

Dengan rasa kesal, kau terpaksa mengangkat dering ponselmu.  
“Kamu sudah sampai mana?”
“Apakah turun dari kereta?”
“Oh iya, kakakmu, Dini sekarang menunggumu di dermaga”
“Kau bisa berbarengan pulang dengan dia”
“Hati-hati ya”

Tak berselang lama, kakakmu, Dini juga menghubungimu. Akan tetapi, kau tidak mengacuhkan dia. “Biarkan saja, dia minggat dari rumah. Ya tanggung sendiri risikonya”, katamu mengutuk. Pikiranmu makin tidak menerima, matamu kini memerah. Dadamu rasanya sesak.
“Asu, patek,” kau pun membanting ponselmu.
“Ya Allah, sabar” ujian apa lagi ini.

Kau sudah tidak tahan karena terjaga semalaman. Retinamu kini memerah, terasa kering saat kau kedipkan. Kau sepertinya gundah dan gelisah tidak seperti biasanya. Saat itu, aku menangis memikirkanmu. Ibu juga, tak henti-hentinya air menetes ke pipinya. Ia juga tak pernah bosan dengan setiap nasihat yang selalu terucap dari lisannya, “kalian itu saudara... kalian itu saudara....”

Akhirnya kau memutuskan untuk ke dermaga pagi itu, walau sudah agak siang. Kau seakan-akan membabi-buta. Meninggalkan hunianmu yang dekat dengan stasiun kereta. Saat itulah kau mulai tersentak. Kau mengumpat setiap perjalananmu. Bola matamu penuh dengan penyesalan, kehinaan, dan juga kepuasan.

Kau saksikan sendiri bagaimana keadaan kakakmu, Dini, yang menawarkan telur rebus yang ia bawa dari Bali. Dengan keadaan lumpuh, dia tetap menyiapkan makan siangmu. Kau teringat lagi dengan petuah ibumu saat kau berada di Madura, dan membiarkannya minggat dari Rumah. Andai bukan saudara, kau sudah memukulinya di pelabuhan Perak malam itu yang telah mempermalukan ibumu, mempermalukan keluargamu. Dengan merasa tidak bersalah, ia minggat dari rumah. Sekarang, bercucurlah air matamu, barulah kau tahu makna dari saudara.

*

Siang hari itu, kau meronta-meronta dan tak mampu berkata apa-apa. Mulutmu bisu seolah-olah terkunci. Belum lagi sejak kau sudah sampai di dermaga, kerumunan orang juga di sana. Keselamatan tidak lagi menjadi prioritas utama. Kau memangku saudaramu. Badannya yang lemah dan tak berdaya, menatapmu, lalu memalingkan wajahnya dari pandanganmu.

Tiket kapal tidak lagi menjadi harapan. Penumpang bergegas agar sampai di atas palka. Pemerintah bejat di sana menggunakan kekuasaannya untuk mempersulit rakyatnya. Kamu dan penumpang lainnya telah menghabiskan banyak biaya untuk memindahkan barang bawaan tunggang-langgang karena tidak dibiarkan untuk berdiam di dermaga. Sedangkan kalian, para penumpang, berunjuk rasa memperjuangkan hak kalian. Kini aku semakin cemas, wabah yang kian merambat ke mana-mana tidakku inginkan hadir di antara kalian.

Ketika petugas medis datang aku merasa lega. Setiap penumpang akhirnya diperbolehkan menaiki kapal sesuai prosedur dan protokol kesehatan. Aku hanya dapat melambaikan tanganku dari kejauhan. Semoga kau selamat sampai tujuan. Salam buat ibu bapak di pulau.

*

Sesampainya di dermaga tujuan, kalian kini dikarantina. Kalian telah terpanggang di dalam palka. Sudah empat belas jam menderita. Bau WC lengkap menambah penderitaanmu dan saudaramu. Seakan-akan petugas medis di sana tidak terima dengan kesehatanmu, saudaramu dan semuanya. Matahari yang mulai naik pada singgasananya menambah bebanmu. Hari sudah siang, saudaramu telah kehabisan muntahnya. Perutnya kini kosong dan tak sanggup ia berkata. Kau kini menopangnya membawa ke atas dermaga melewati para tentara yang berjaga. Penumpang lain menatap sinis, memberi ruang pada kalian berdua. Para tentara itu kemudian membantumu untuk membawanya ke pos penanganan wabah.

Sesampainya di rumah, kau yang masih membopong saudaramu kini berwajah ceria. Ingin segera kau peluk ibumu, keluargamu yang lainnya. Namun, mereka telah paham pada situasinya. Berbeda lagi dengan keponakanmu yang masih balita. Ia secara tiba-tiba memelukmu tanpa tahu apa-apa. Akhirnya, ponakanmu dilanda oleh panas yang luar biasa. Iya, dua minggu setelah kejadian itu, ia harus terbaring pada selang yang mengikat pada lengannya. Sedang kapal, angkutan itu tidak bersedia membawa untuk merawat ponakan kecilmu ke Bali, Banyuwangi, atau Madura. Menurutku, inilah takdir dari-Nya, membuat kita tetap bersama sekeluarga, lebaran bersama-sama.

**

Sebenarnya aku tidak ingin kau beranjak pergi. Ada wabah dan tidak selama kamu masih di sisi, aku tidak peduli. Sedangkan kamu yang lebih peduli, kau habiskan waktumu dan kenyamananmu pada orang yang kau yakini. Terima kasih kak Riri. Salam. Dini

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.