Tentang Truly dan Aroma-Aroma



Hari itu, Truly, tiga tahun yang lalu, seorang perempuan beraroma jeruk dan temannya yang yang beraroma melati, memesan dua cangkir kopi di kafeku. Aku yang mendadak tersengat ingatan tentangmu karena aroma melati itu, memutuskan menyingkir ke sudut ruangan dan meminta Gi mengiringiku menyanyi dengan pianonya. (Kau tahu, Truly sejak kita berpisah, betapa sulitnya menghindar dari bayang-bayangmu.) Dan aku tak habis berterima kasih kepada Stevie Wonder, karena Lately terasa sangat pas dan sesuai dengan apa yang kurasakan saat itu.
“Kau pasti sudah lama patah hati,” suara lembut di telingaku membuatku menegakkan punggung. Aku waspada menghirup udara. Hanya ada aroma jeruk segar.
“Aku lihat kau bernyanyi lebih untuk kesenangan pribadi. Mau mencoba menjadi wedding singer?”
Aku tertawa getir. “maaf, Nona. Aku sudah cukup sibuk mengelola kafeku ini.”
“Dan aku adalah pelanggan setiamu, kalau kau belum tahu. Aku suka semua makanan dan minuman di sini. Aku suka memperhatikan kesepian di wajahmu. Aku suka lirih suaramu saat menyanyikan Truly di meja sudut milikmu itu.”
Mungkin aku cukup terkesan dengan keseterusterangannya, hingga mengiakan permintaan tak lazim itu. Walau, awalnya, bernyanyi di pesta pernikahan bagiku hanyalah keisengan pembunuh kejemuan. Tapi, lama-kelamaan, aku menikmatinya. Mungkin juga karena kau terasa sangat dekat di pesta-pesta pernikahan itu, Truly. Jiwamu seakan ikut menyelinap di antara aroma melati yang kembali mengambang di udara.
Hari ini Truly, di ruangan dingin yang dipenuhi aroma bunga, aku kembali dikelilingi ingatan tentangmu.
“Pengantin pria suka lagu-lagu Stevia Wonder. Itu biar jadi bagianku. Kau siapkan saja lagu-lagu Lionel Richie. Itu permintaan dari pengantin perempuan.” Lea, perempuan bersuara lembut dan beraroma jeruk itu, sudah menjelaskannya sejak dua bulan yang lalu.
“Siapa nama pengantinnya?” aku spontan bertanya.
“Andrew dan Andrea. Bukankan nama mereka mirip dan terdengar manis saat diucapkan bersama?”
Nama yang manis saat diucapkan bersama. Mungkin hal itulah yang tidak kita miliki hingga kita berpisah. Truly dan Dian. Memang bukan padanan yang terlalu serasi, kukira. Seperti kesan pertama yang timbul saat kita pertama kali bertemu. Kau masih ingat, Truly> Ketika aku terus bertanya padamu, tak berperasaan.
“Truly? Benar itu namamu?”
Mungkin, itu pertanyaan sama ketiga yang kulontarkan sambil terus menatapmu dalam waktu sepuluh menit. Kau merengut tak senang.
“ada yang salah dengan namaku?”
Aku buru-buru tersenyum, menyadari kekeliruanku.
“tidak ada. Namamu manis, mengingatkanku pada Lionel Richie.”
Kau mengernyitkan keningmu. “dan kau, Dian?
 Benar itu namamu?”
“Ada yang salah dengan namaku?”
“Tidak ada. Hanya mengingatkanku pada ibuku. Bedanya, kau ganteng.”
Sejak saat itu, kau tak pernah keberatan bila aku menyanyikan Truly untukmu. Kita sama-sama tahu, bagaimanapun lagu itu menggambarkan dengan tepat perasaan kita yang tumbuh setiap harinya.
“Aku akan membayarmu untuk menyanyikan lagu itu di pesta pernikahanku kelak,” ucapmu saat nada Truly untuk pertama kalinya usai kunyanyikan untukmu. Matamu berembun, namun kau tertawa manis.
“Apa kau sanggup membayarku?”
“Sebut saja. Aku akan menabung dari sekarang.”
Aku tertawa. “Aku hanya akan menyanyikan Truly untuk pengantinku sendiri.”
Mungkin, kita tak seharusnya terlalu bahagia, karena saat rasa itu tercerabut sungguh menyakitkan. Suara tepuk tangan yang meriah menghalau ingatan masa laluku tentangmu. (Ingatan yang dengan tidak sopan, terus datang tanpa ampun di sepanjang lagu yang kunyanyikan)/ kini, di tengah gumaman dan gelak tawa manusia, denting sendok yang beradu dengan piring, dan desir gaun yang saling bergesek, aku seperti kembali menemukan dirimu, Truly. Entah berapa banyak perempuan yang beraroma sama seperti mu di ruangan ini.
Lea meremas tanganku kuat. “Semua orang terpesona padamu,” bisiknya keras di telingaku, mengimbangi suara yang memenuhi ruangan. “Bahkan Andrea, sang pengantin perempuan. Ia menatapmu tak berkedip. Aku sungguh aku ia akan melompat turun lalu mengajakmu kabur bersamanya.”
Aku tertawa, sedikit nelangsa mendengar gurauan Lea.
“Pengantin pria punya lagu permintaan khusus untuk kita menyanyikan bersama,”  kata Lea dua Minggu yang lalu. “You ari The Sunshine of My Life.  Kau tahu, lagu-lagu cinta seperti mantra pengikat di antara sepasang kekasih.”
Mungkin hari ketika aku harus melepaskanmu adalah kenangan yang ingin aku hapus. Tapi, nyatanya, ingatan itu seperti kaset rusak di kepalaku, yang terus berputar berulang-ulang tak mau berhenti.
“Apa yang sesungguhnya kau takutkan?” suaramu sangat tenang saat itu. Walau aku tahu kau sekuat tenaga menahan perasaanmu menghadapiku yang keras kepala dan bebal.
“Bebanku sudah cukup berat, Truly. Aku tidak akan menambahnya dengan harus mengurus seorang istri,” kataku sedikit kejam. Hentakan napasmu seperti suara pisau tajam yang menggaris permukaan kaca. Membuatku ngilu dan nyeri.
“Bebang? Apakah itu yang kau pikirkan tentangku? Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kalau aku bisa menerima keadaanmu, mengapa kau sendiri tak bisa?”
Tidakkah kau mengerti, Truly, dengan kondisiku sekarang, aku seperti burung yang kehilangan sayap. Kecelakaan tunggal mobil yang kukendarai itu telah memaksa ibuku untuk bergantung di kursi roda selama sisa hidupnya. Aku harus bertanggung jawab. Untuknya, dan juga diriku sendiri (walau ibuku berkali-kali mencoba meyakinkan bahwa semua itu adalah takdir, dan aku perlu merasa bersalah). Aku  mencoba melanjutkan hidup, meski untuk itu aku harus rela melepas impianku bersamamu. Apakah kau pikir semua itu akan mudah kujalani?
“kau berhak hidup lebih bebas dan bahagia, Truly. Bertemu pria yang tepat. Seseorang yang dapat menatapmu dengan pesan cinta, juga mampu menemukanmu yang tersesat di tengah keramaian.”
“Bukankah hati dapat melihat lebih tajam dari mata?”
Benarkah? Tapi, kupikir hatiku sakit teramat parah, sehingga tak lagi mampu merasa. Keputusanku sudah bulat, dan kita berpisah. Kau mungkin tak bisa membayangkan kekosongan yang kuhadapi di tahun-tahun setelah nya. Saat ibuku kemudian berpulang, meninggalkanku sendirian. Hanya kesunyian dan kegelapan yang berusaha kujadikan teman akrab.
Hingga kemudian Lea hadir.
Perempuan itu tidak beraroma melati seperti mu, melainkan jeruk yang segar, mungkin karena itu ia seperti suntikan yang membangunkanku dari tidur panjang.  Namun, ia juga perempuan yang menyukai banyak aroma. Hingga aku belajar untuk menerima bahwa cinta bisa datang lewat harum mawar, lili, rumput, hingga kopi. Membuatku bertanya heran, mengapa cinta beraroma melati mampu terus memasungku selama sembilan tahun terakhir?
“duduklah dulu. Setelah giliranku, bersiaplah untuk lagu terakhir. Ingat, aku sudah menunggu saat ini begitu lama!” Lea berbisik di telingaku, menyeret kesadaranku kembali ke pesta pernikahan ini. Aku hanya tersenyum mendengar suaranya yang gelisah.
Sementara itu Lea membawakan For You Love dengan teramat manis, aku kembali termenung mengingat peristiwa 18 jam yang lalu. Aroma melati yang lembut menyergap penciumanku saat seseorang memasuki ruangan. Lea sedang keluar, hingga hanya aku yang berada di kantor jasa event organizer miliknya itu.
“Aku mencari Lea,” suara perempuan beraroma melati itu bergetar, seperti datang dari tempat yang jauh dan asing.
“Ia sedang keluar. Tapi, saya bisa membantu dan menyampaikan pesan Anda.”
Perempuan di hadapanku terdiam lama. Ia berdiri tenang, seakan sedang menghitung detak waktu.
“Tolong  sampaikan padanya, jadikan Truly sebagai  sebagai lagu terakhir, sesuai keinginanku. Jangan sampai salah. Ia pasti mengeri maksudku.”
Lea mondar-mandir, tegang dan gelisah, saat aku ceritakan pesan perempuan beraroma melati itu. “Dasar perempuan keras kepala. Andrea itu! Kau tahu, Dian, awalnya ia tak percaya kalau aku –kita—yang akan menyanyi di pernikahannya. Ia pikir aku terlalu serahkan dan pelit untuk mencari penyanyi ain yang bagus.”
“Lalu?”
“Ia pernah mampir memutuskan kontrak karena khawatir pestanya akan Berantakan kalau aku sibuk bernyanyi, walau aku yakin alasan sebenarnya karena ia meragukan kualitas suaraku. Kuputarkan video saat kita bernyanyi, di pernikahan Shahnaz di Bali. Wajahnya langsung pucat. Ia setuju, dengan syarat Truly  harus dinyanyikan olehmu, bukan olehku.”
“Kau tahu betul perasaanku tantang menyanyikan Truly  di depan umum,” aku berkata tak senang.
“Aku tahu, Dian. Aku tahu.” Lea mendesah, terdengar berat dan letih. Ia merebahkan kepalanya di bahuku.
“Mengapa kau tidak pernah mau menyanyikan Truly sejak kita bersama?” Lea berbisik, lalu mulai terisak. Tentu saja aku tidak pernah bercerita kalau lagu itu akan selalu mengingatkanku padamu, Truly. Menyanyikan lagu itu hanya akan memanggil ketenangan yang tak perlu.
“Tidakkah kau sadar, tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari aku harus bersaing dengan seseorang di hatimu? Bahwa kau selalu berbisik Truly di tidurmu setiap aku beraroma melati?”
Ah, aku sungguh bodoh, bukan? Mencoba menyembunyikan sesuatu dari makhluk berjenis hawa. Seharusnya aku tahu hal itu akan sia-sia.
“Nyanyikan Truly untukku di pesta Andrea besok, Dian. Aku mohon, jadikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang pertama.”
Kau tahu, Truly, Andrea juga nama yang pantas untukmu, Meski dulu kau tak menyukainya.
“Truly adalah panggilan kesayangan dari ibuku. Nama Andrea hanya akan mengingatkanku pada lelaki yang telah meninggalkan kami. Aku membenci ayahku. Lagi pula aku pastilah orang yang berbeda bila memutuskan memakai nama itu.”
Kau benar, Truly. Saat ini, takuk yakin kau dan aku telah berubah menjadi dua orang yang berbeda. Aku menyadarinya saat kita berhadapan dalam jarak yang begitu dekat di ruangan Lea kemarin. Meskipun kecelakaan itu telah mencuri penglihatanku, tapi hatiku ternyata masih mampu mengenalimu. Dan kita memilih untuk tetap berdiri tegak di garis kita masing-masing, walau udara seakan berusaha keras untuk menarik kita merapat.
Oh, benta seperti apa ia yang telah merengkuhmu dalam keyakinan pernikahan (aku sungguh berharap kalian bahagia). Kau tahu, Truly, ia yang beraroma jeruk juga telah menyadarkanku. Bahwa waktu sembilan tahun sudah terlalu lama untuk menahanmu dalam Ruang-ruang anganku. Aku harus melepaskanmu sepenuhnya kini.
Lamunanku terputus saat Lea memanggilku untuk mengisi lagu terakhir. Truly.
Because I’m Truly, Truly Ni globe Alt Lou gir. I’m truly, had Dover heels Alt iur Love. I Seed Lou, Ana Alt iur Love I’m Free. And truly, Lou knot Lou’re alright Alt Ma....
Ruangan yang luas dan dingin ini dipenuhi gumaman suara-suara. Beragam rasa menguar dan bercampur di udara. Gelisah, tanya, bahagia, sesal, cinta. Telah kunyanyikan lagu itu untuk pengantinku. Dengan jelas dapat kurasakan, Truly, di tempat yang tak terpisah jauh, kau dan Lea menangis bersamaan. ***
YULIANA TRIHANINGSIH, Lahir di Jakarta, 22 Juli 1978, Ibu dua putra dan satu putri ini menamatkan kuliah di fakultas kesehatan Masyarakan Universitas Indonesia dari peminatan kesehatan reproduksi. Sangat suka menulis kisah romantis, inspiratif, hingga cerita anak yang manis. Karya-karyanya berupa cerpen, cerber, artikel, dan resensi termuat di banyak media nasional. Untuk komunikasi, bisa dihubungi di surel: yulinatrihaningsih@yahoo.co.id, Yulianatrihaningsih.blogspot.com, akun Twitter: @yulin_atri, atau aku Facebook: Yuliana Trihaningsih.
Cerpen Jawa Pos Minggu, 05 Maret 2017. Halaman 7

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.