Sudah lama aku mengurung diri di kamar, sehingga badanku tampak seperti pecandu, rambutku sangat kusam bagai kawat berduri, mataku lebam berwarna biru kehitaman akibat murung dan merenungkan masa-masa bersama kawan-kawanku. Hari-hariku hanya kuhabiskan untuk meratapi nasib yang tak tahu akan aku bawa ke mana hidup ini. Terkadang aku merasa bahwa aku sudah lama menjauh dari pergaulan dan riuhnya keramaian orang-orang. Rumahku seakan-akan sudah enggan bersamaku untuk menampung diri ini yang hanya sekedar menghabiskan waktu jenuh dan suram di dalamnya.
Perlahan-lahan,
tapi pasti terdengar ketukan dari pintu. Namun, aku tak menampiknya dan
membiarkan saja entah siapa itu. Daun pintu bergerak terbuka dan dibalik pintu
tersebut ayah datang dengan raut muka khawatirnya. Wajahnya tampak penuh sesal
padaku. Aku hanya pasrah mendengarkan emosi omelannya.
"Safana...
Ayah kemari hanya untuk minta maaf. Mungkin, ayah sudah tak sanggup lagi
membujukmu untuk kembali seperti dulu. Ayah tidak ingin punya anak yang
kehilangan arah, masa depanmu masih cerah. Mengapa seorang Safana yang
senantiasa berteman dengan alam kini menjauh dari semesta. Kembalilah berteman.
Ada sejuta orang yang masih senang berbagi rasa dan asa denganmu. Ayah hanya
ingin Safana menjadi dirinya yang dulu lagi." Ayah berkata panjang kali
lebar dengan penuh sesak dalam dadanya. Dia pamit dari hadapanku tanpa
kuberikan sepatah kata pun. Sebenarnya, "Aku juga tidak ingin kejadian
seperti ini, kenapa ayah tidak mengerti" ujarku dalam hati.
*Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri *
Ayahku
sudah melakukan berbagai cara untuk membuatku kembali normal lagi dari trauma
ini, namun usaha itu tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya, ayahku meminta Agriani,
salah satu teman karibku yang selamat saat mendaki di Merapi tahun lalu. Ayahku
memintanya untuk membantu memulihkanku dari trauma yang sungguh menyiksa batin
ini.
Karena
aku sudah lama mengurung diri di kamar, Agriani kembali mengajakku untuk kembali
mendaki dan menyaksikan panorama keindahan alam di merapi kembali. Awalnya, aku
sempat menolak karena aku masih terbayang-bayang kejadian waktu dulu. Waktu
kami masih bersama-sama mendaki dan tersesat arah akibat badai dan terjungkal
pada lembah yang sangat dalam dan membuat sahabatku yang paling berharga dan
teman-temanku tiada. Namun, Agriani bersikukuh mengajakku dan meyakinkan bahwa
kami akan baik-baik saja.
Pada
suatu pagi dengan berat hati karena masih terbayang peristiwa dulu di merapi,
kami memutuskan berangkat untuk kembali mendaki menerjang trauma dalam hati.
Kami tiba di sampai pos pemeriksaan sore hari. Sangat sejuk rasanya ketika
memasuki area pendakian. Peristiwa ini adalah pendakian pertamaku setelah
sekian lama tidak mendaki karena trauma itu. Kami mulai melangkahkan kaki kami
menuju pendakian. Beberapa pos sudah terlewati hingga tak terasa cahaya di
dalam hutan kian memudar. Kami pun sedikit bergegas untuk mendirikan tenda di
pos terdekat. Serasa tak kan sampai, kami memutuskan untuk berhenti di jalur
yang agak datar. Kami pun mendirikan tenda di salah satu pos untuk
beristirahat.
Aku
kembali mengingat dan sesekali menatap wajah Agriani yang juga terasa seperti
memikul beban berat di pundaknya. Aku sangat penasaran dan penuh pertanyaan
yang ini kulontarkan padanya tentang bagaimana dia dapat melupakan kejadian
tahun lalu yang merupakan peristiwa kelam antaranya dan diriku. Bagaimana dia
bisa ikhlas melupakan orang-orang terdekat dengan kita hilang begitu saja
ditelan oleh alam pendakian.
"Kita
akan istirahat dan mendirikan tenda serta perapian di sini. Di tempat ini,
suhunya lebih normal untuk melupakan mantan." ucap Agriani sambil
terbahak-bahak begitu juga denganku yang tak kuat menahan tawa setelah
melihatnya tertawa lepas menampakkan gigi gingsulnya.
Setelah
beristirahat dengan cukup panjang, kami pun segera bersiap untuk melanjutkan
perjalanan kembali untuk sampai di puncak.
"Udara
yang segar" ucapku sambil keluar tenda dan memandangi indahnya lautan awan
yang terhampar di atas sana.
Di
perjalanan tiba-tiba terlihat hewan-hewan berlalu lalang menjauhi perbukitan.
Gemuruh berbagai suara kaki hewan berlarian turun menuju lembah, dahan-dahan pohon
pinus bertumbangan. Tanah mulai bergetar, hawa di tempat ini tak lagi normal.
Langit yang awalnya terang, kini menjadi kelam. Kami yang semula kedinginan
bersimbah keringat bercucuran hingga pinggang.
Aku
bersama Agriani tak terbelalak tak berdaya. Tangan Agriani tiba-tiba mendekapku
dari belakang. Tenang Safana, ini hanya mimpi. Kami baru saja di sini tadi
sore. Tidurlah kembali. Namun, aku tetap tak percaya apakah ini hanya mimpi
atau kejadian yang benar-benar terjadi. Bukankah hari ini sudah pagi.
"Apa
yang terjadi? apakah kita akan selamat di sini?" Agriani seolah-olah
membisu dan aku tak dapat bergerak lagi memaku. Aku mengajaknya dengan berkata,
"Ayo kita pergi ke antara batu-batu di sana di depan tenda".
Dia
hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dengan kaki yang bergetar, aku mencoba
untuk bersembunyi di antara bebatuan yang terlihat kokoh di sana. Di tengah
situasi hujan pasir berjatuhan disertai kerikil-kerikil dan bebatuan, Agriani
ternyata masih di dalam tenda. Dia seolah-olah membeku. Agriani mungkin tak
sadarkan diri. Tenda yang semula berada di dataran yang aman hanyut dan
tertimbun bersama pasir dan kerikil. Aku mencoba untuk menggapainya. Aku tak
mau lagi kehilangan temanku untuk kedua kalinya. Namun, walaupun demikian
Agriani tetap membisu dan menurut saja. Hingga suatu ketika, pandanganku sudah
kabur. Aku sudah tidak tahan lagi menghidup racun dari kabut erupsi di hutan
ini.
"Maafkan
aku Agriani, Aku tahu kau sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Mungkin aku tak
dapat menyelamatkanmu. Mungkin ini adalah takdir untuk aku bisa pergi
meninggalkan dunia ini seperti teman-teman lainnya dulu di Merapi ini".
*Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri *
Keesokan
harinya aku sudah dievakuasi. Tubuhku dibopong di atas tandu menuju pos
penyelamatan, sementara Agriani dibungkus dengan rapi beserta para pendaki
lainnya. Aku ingin meronta-ronta walau tidak bisa. "Maafkan aku Agriani,
sungguh aku tak mampu hidup di dunia ini nanti" ucapku dalam hati.
*Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri *
Beberapa
saat kemudian setelah ayah enyah dari hadapanku, Ayah meminta keluarga Agriani
untuk menemuiku di rumah ini. Mereka sungguh bersimpati padaku dan berterima
kasih karena berkatku, tim evakuasi menemukan jasad Agriani yang telah hilang
setahun lalu kini masih terbungkus oleh tenda di tempatku dievakuasi terakhir
kali.
Seolah
aku tak percaya pada hal terakhir yang terjadi. Bagiku, mungkin, ini hanyalah
mimpi. Agriani ibarat memintaku dan menuntun agar aku menemukan jasadnya. Setelah
itu, aku beranjak dari rumah ini untuk melihat peristirahatan terakhirnya.
Melalui nisannya, Aku sampaikan permintaan maafku padanya untuk terakhir
kalinya. “Agriani, terima kasih. Engkau telah datang kembali walaupun yang
terakhir kali”.
0 Komentar