(Cerpen Transformasi dari Diary berjudul “Nasib” yang ditulis oleh Kak Ridwan sendiri dalam blog ini)
Pandemi akhirnya usai. Hujan terakhir musim itu seperti
tirai yang menutup panggung penuh drama. Bagi sebagian orang, ini adalah awal
baru, tetapi bagiku, ini adalah senja yang memudar perlahan. Karirku di dunia
pendidikan, yang pernah begitu menjanjikan, kini berakhir tanpa tepuk tangan.
Aku masih ingat, saat pandemi sedang mengamuk, banyak orang
kehilangan pekerjaan. PHK menjadi cerita sedih di setiap rumah. Tapi aku, entah
bagaimana, justru diterima di sebuah lembaga pendidikan berbasis daring dan
luring. Di saat ekonomi bangsa kacau, aku masih menerima gaji yang cukup untuk
bertahan. Saat itu, aku merasa seperti berada di puncak roda kehidupan. Tapi,
seperti roda, puncak hanyalah tempat sementara.
Ketika pandemi berakhir, dunia mulai bergerak kembali.
Lapangan kerja terbuka, dan orang-orang berbondong-bondong mencari penghidupan
baru. Aku pun ikut mencoba. Tapi, ironisnya, di saat yang lain menemukan
harapan, aku justru kehilangan pijakan. Pengumuman itu seperti petir di siang
bolong. Namaku tidak ada di daftar penerimaan. Sebaliknya, kantor lamaku tutup. Sementara itu, kami diberhentikan.
Kini, aku terbaring di ruang tamu rumah mertuaku, memandang
langit-langit sambil berpikir, “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Uang
tabungan hanya cukup untuk beberapa bulan. Barang-barang berharga? Tidak ada
yang bisa dijual. Rumah saja masih sewa, kini aku kembali menjadi beban
keluarga. Membuka usaha? Tanpa modal, rasanya seperti mengejar bayangan.
Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri
Aku teringat pada masa pandemi, saat aku merasa simpati pada
buruh pabrik yang kehilangan pekerjaan. Aku berpikir, “Kenapa mereka tidak
mencoba melamar pekerjaan lain? Bukankah ada banyak cara untuk bertahan hidup?”
Tapi kini, aku tahu jawabannya. Bertahan hidup tidak semudah itu. Hidup adalah
pertarungan tanpa aturan, dan kadang, kamu tidak punya apa-apa untuk melawan.
Bantuan pemerintah? Aku tahu itu hanya angan-angan bagi
perantau seperti aku. Bantuan itu untuk mereka yang punya data, bukan untuk
nama-nama yang terhapus dari sistem. Aku tersenyum pahit. Mungkin ini saatnya
aku belajar menerima.
Malam itu, aku kembali memandang langit malam yang gelap,
tapi penuh bintang. Seperti hidupku sekarang, meski terasa gelap, aku tahu
selalu ada harapan di antara kegelapan.
“Mungkin, senja ini bukan akhir,” pikirku. “Mungkin ini hanya jeda, sebelum mentari esok kembali bersinar.”
Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri
0 Komentar