Sandaran di Kedai Kopi

 



Duduk di kedai kopi. Bagi Joko, sudah tidak ada alasan lagi dia meratapi kepergian takdir yang tak berpihak pada dirinya. Dia menyandarkan badannya pada sandaran kursi kokoh yang mampu menopang keluh-kesahnya. Tidak seperti permadani di atas lincak rumahnya, dia ingin menumpahkan kekecewaannya terhadap dunia. Dia tak lagi dapat menumpahkan kesedihan di pembaringan ibunya.

“Semakin hari, manusia semakin tak berperikemanusiaan saja,” ujar Joko dengan wajah kesalnya.

“Bukankah memang begitu Joko. Sampean baru sadar?” timpal Bambang.

Lah mengapa tidak. Saya pernah jadi PKL, gerobak saya ditabrak mobil dengan sengaja. Begitu berkembang dan punya kios, dibongkar polisi padahal saya sudah sewa. Akhirnya, saya bangkrut sehingga memutuskan jadi pemulung. Saat kerja, warga malah mengira kalau saya maling sampai ngejar-ngejar saya. Repot pokoknya hidup di dunia saat ini. Mengapa saya tidak menjadi kaya saja. Mungkin hidup saya bisa berbeda. Akan tetapi, mana ada orang kaya yang tidak bekerja.”

Joko geleng-geleng tak mengerti tentang kehidupan masa kini. Dia hanya senyum-senyum membayangkan kehidupan terbaiknya saat menjadi masa anak-anak. Dia bisa hidup tenteram apabila dimanja orang tua. Walau pun terkadang, dia bisa menderita karena dipukuli orang tuanya menggunakan rotan saat lagi nakal-nakalnya.

Baca juga di ceritalongor: musuh terbesar

Dia kini meneguk teh tawar ke tenggorokannya sambil membayangkan nasibnya tertelan juga. Dia sedikit menilik Bambang yang berada di sebelahnya. “Bagaimana dengan dirimu Bambang? Bagaimana rasanya menjadi pegawai? Pasti lebih beruntung daripada seperti saya.”

“Joko..., Joko..., setiap pekerjaan itu sudah pasti ada risikonya. Kita hanya harus siap sedia dan sabar menghadapinya. Bayangkan jika sampean jadi pegawai dengan gaji pas-pasan kemudian sampean tiba-tiba dipecat padahal sampean tidak salah apa-apa. Lantas, anak-istri makan apa Joko. Loyalitas?”

“Bukankah sampean orangnya sangat baik pada semua orang. Sampean satu-satunya yang punya simpati dari semua tetangga dan orang-orang di kampung saya.”

“Joko, sampean selama ini hanya melihat sisi baik saya saja. Apa sampean nanti tidak minder atau pergi kalau sudah melihat sisi buruk saya. Persis seperti tetangga sampean, sekarang sudah tidak bersimpati karena tahu sampean tidak dapat mengenyangkan perut mereka setelah doa bersama. Saya juga begitu, sekarang hanya berteman dengan sampean. Setelah seribu kebaikan yang kita perbuat, mereka hanya mengingat satu keburukan kita saja. Padahal selama ini, sampean sangat baik pada mereka.”

Joko menatap Bambang dengan senyum pahit. “Kalau begitu, apa gunanya kita baik, Bang? Kalau orang hanya ingat keburukan kita?”

Bambang tertawa kecil. “Gunanya? Ya, gunanya supaya kita sendiri tahu kalau kita pernah mencoba jadi baik, Joko. Dunia ini bukan tempat mencari balasan. Kalau kita bisa tidur nyenyak tanpa merasa bersalah, itu sudah cukup.”

Joko memandang ke luar jendela, melihat anak-anak bermain hujan. Dia teringat masa kecilnya, saat kebahagiaan tak butuh alasan. Tapi kini, hidup terasa seperti lelucon pahit. Dia meneguk teh terakhirnya, lalu berkata lirih, “Kalau begitu, mungkin saya harus berhenti berharap dunia berubah.”

“Benar, Joko,” jawab Bambang. “Tapi jangan berhenti berharap pada dirimu sendiri.”

Joko terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Bambang. Dia menatap teh yang mulai dingin di cangkirnya, seolah melihat hidupnya sendiri yang tak lagi menghangatkan harapan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

“Bambang, mungkin benar. Hidup ini bukan tentang siapa yang paling kaya atau paling dihormati. Tapi tentang siapa yang tetap bertahan dan terus mencoba.”

Baca juga di ceritalongor: musuh terbesar

Di sisi lain, Bambang pun juga turut merenung, “orang-orang mengapa banyak yang mengeluh tanpa melakukan resolusi. Banyak orang yang mengeluhkan macet sementara mereka menggunakan kendaraan pribadi ke mana-mana. Banyak yang mengeluhkan banjir selalu langganan tiap tahun padahal tak sedikit dari mereka masih membuang sampah ke aliran air. Ada yang mengeluhkan kecepatan internet lamban, sedangkan mereka pakai paket termurah. Ada pula yang paling parah, yakni mengeluhkan hukum dan peraturan lemah. Sementara itu, mereka pun sering mencari celah untuk melanggar. Semua itu menjadikan negara ini tak akan pernah maju. Bahkan, orang baik yang tak melakukan semua itu akan merasakan dampaknya.”

Pada akhirnya, mereka hanya bisa mengeluh, mengutuk keadaan, dan menyalahkan orang lain. Mungkin begitulah cara mereka merasa lebih baik—tanpa perlu repot-repot berubah.

0 Komentar

"Jika kamu ingin membangun hal besar, mulailah dari langkah terkecil!"

""Kesuksesan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Seperti sebuah perjalanan panjang, setiap langkah awal adalah fondasi yang membawa Anda lebih dekat ke tujuan. Jangan takut untuk memulai dari hal sederhana, karena di situlah semua mimpi besar mendapatkan bentuknya.""