Musuh Terbesar

 


Malam itu terasa berbeda. Ruri yang mematung di sudut kamar memikirkan hari esok yang tak dapat terhindarkan. Bapaknya seorang lelaki gagah memanggil Ruri ke ruang tengah. “Sudah waktunya,” ujar bapaknya. Ruri pun duduk bersila sambil memejamkan mata.

“Bukan karate, bukan juga silat. Ini adalah gerakan bela diri yang telah diajarkan turun-temurun dari leluhur kita. Ini salah satu jenis aliran pamancak dari Sulawesi,” ujar bapak sembari memberi wejangan. Dia juga diberi wejangan bagaimana seorang pelaut dari suku Bajo dapat berlayar dengan selamat antar pulau bahkan antar-negara. Bapaknya mencontohkan ketika pamannya kembali dari perantauannya di Ternate Maluku Utara dengan singgah di beberapa pulau hingga ke Madura menggunakan sampan hanya bertiga saja.

“Kamu itu seakan-akan dibuang. Enaknya, kamu masih bisa makan dan belajar. Berbeda dengan bapak, kerja menyelam jungkir balik di dalam lautan barulah dapat ikan untuk dimakan. Bapak merantau ke berbagai negeri seberang untuk mengumpulkan uang. Menjual pohon kelapa ke Sumbawa bersama kakek selama seminggu di lautan. Bapak juga pernah menjual mutiara dari kerang kepada orang-orang China di Malaysia dan Kalimantan.

“Sekarang sudah tengah malam. Besok, giliran Ruri yang akan pergi merantau ke negeri Seberang. Bekal lahir dan batin harus cukup untuk dibawa ke perantauan. Bapak sudah mengajarkan gerakan-gerakan bela diri. Walau pun demikian, cobaan itu pasti nyata. Kita hanya berusaha untuk menghindari atau menghadapinya. Jangan lupa, rutinlah salat. Itu adalah bekal terpenting dunia akhirat. Orang yang tak salat bisa celaka. Kalau tidak celaka di dunia, celakanya di akhirat itu sangat nyata.”

Pagi itu, suasana rumah penuh dengan keluarga besar. Semerbak bau dupa yang dibakar di dalam ruangan membawa nuansa penuh khidmat yang berbeda daripada sebelumnya.  Setiap orang yang dijumpai Ruri memberikan doa dan uang sangu. Mereka selalu mendoakan semoga selamat di jalan dan uang yang diberikan mungkin cukup untuk minum di perjalanan.

Ingat kata Ayah, “Kamu tidak boleh terburu-buru karena di jalan bisa jadi ada bahaya yang menantimu. Perhatikan jalur nafas. Jika nafasmu berat, tahanlah dulu untuk melangkah. Jika aliran nafasmu lebih lancar di bagian kiri, langkahkan kaki kirimu. Sebaliknya, langkahkan kaki kananmu jika jalur nafasmu lebih lancar pada bagian kanan. Namun, lebih baik lagi jika melangkah dengan kaki kanan sesuai sunah Nabi. Walaupun demikian, jika jalur nafas mengalir hangat atau cenderung panas, berhentilah untuk melangkah. Bisa jadi di perjalanan, engkau akan dilanda sakit.”

Semua orang sudah membawa barang bawaan Ruri. Titipan ikan untuk dibawa ke perantauan sudah dipikul. Tas yang berisi pakaian dibawa dengan cara disuun (membawa barang dengan meletakkannya di atas kepala). Bapak dan Ibu Ruri sudah terlebih dahulu menuju sampan. Ruri kini tinggal sendirian, dia tidak fokus pada jalur pernafasan. Dia juga tidak tenang memikirkan perpisahan. Dia berupaya agar melangkah dengan kaki kanan. Menurutnya, melangkah dengan kaki kanan adalah ajaran Nabi. Itu juga sesuai dengan keyakinan yang dia pahami.

Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri  

Cuaca sangat cerah. Terik matahari sangat terasa di pagi hari itu. Laut pun senang ketika menyambut Ruri untuk mengantarkan ke negeri seberang.  Walau pun dirundung bimbang, Ruri berupaya untuk tetap fokus dan santai. “Ragaku akan melangkah ke depan sementara jiwaku masih di rumah tersimpan dengan tenang.” Dia melafalkan mantranya karena selama dia merantau, raganya tetap akan kembali pada jiwanya. Jiwanya kini dia simpan di rumahnya.

Di atas sampan, laut menyambut Ruri dengan riak-riak kecil. Perahu yang akan dia tumpangi berada agak jauh dari bibir pantai sehingga harus menaiki sampan bergantian. Angin lembut berembus seolah membelai wajahnya. Dia pandangi pulau kelahirannya sebelum perahu melaju ke dermaga untuk menaiki kapal. Beberapa kali dia mencoba memejamkan mata di pangkuan ibunya. Ini adalah saat-saat terakhir dia akan pergi lama.

Namun, tak lama kemudian, gelombang pasang mulai gemuruh. Langit cerah pun kini sudah tampak lagi. Pikiran Ruri mulai kosong. “Ini hanya ombak kecil,” Ujar bapaknya untuk menenangkan. Dia hanya menurut saja sembari naik ke kapal dengan tiket di tangannya. Dia menuju matras di palka kapal yang telah disewa oleh bapaknya.

“Ini ombak hanya sebentar saja. Kalau mendung itu sudah berlalu, kapal akan kembali tenang. Tidak akan ada badai. Kamu istirahat saja. Nanti, kapal akan transit di Kangean. Jangan lupa makan siang. Semua bekal sudah bapak siapkan.” Ruri tahu kalau bapaknya mencoba membuatnya diam. Namun, dari sorot matanya, dia tahu kalau bapaknya juga tampak gelisah. Kami pun berpelukan untuk sekadar perpisahan.

Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri  

Kapal sudah sampai di pulau seberang, para penumpang pun turun untuk sekadar membeli makan atau makan siang yang sudah kesorean. Hujan yang tadinya turun selama perjalanan tak kunjung reda. Walau hanya gerimis saja, angin seolah-olah menghempaskannya. Warung yang berdiri kokoh di atas dermaga dilemparkan ke dalam lautan. Orang-orang yang tadi turun karena takut dibasahi hujan atau tak tahan lapar mulai berlarian dan berhamburan karena takut badai. Semua penumpang meninggalkan barang bawaan di kapal untuk berteduh ke terminal penumpang. Mereka hanya berpikir tentang keselamatan.

Para penumpang teriak bergemuruh mengumandangkan takbir. Kaget melihat kapal barang yang sudah karam di pesisir. “Allahu akbar, Alhamdulillah, Allahu akbar. Untung saja tidak menimpa kami”. Ruri dan penumpang lainnya akhirnya dievakuasi. Kapal diberangkatkan lagi setelah tujuh hari. Bapaknya ikut dalam tim evakuasi hingga ikut mengantarkan hingga saatnya kapal merapat di dermaga tujuan.

Sambil memandang laut lepas, Ruri melangkah ke negeri seberang dengan beberapa pesan bapaknya sebagai kompas dan pedoman. “Ingatlah, musuh terbesar pelaut itu adalah lautan. Ombak di laut tidak dapat dijinakkan sebagai teman. Sebaliknya, jika ombak selalu tenang, kamu tidak akan pernah menemukan pelaut andal.”

Baca cerita longor lainnya hanya di situs cerita longor by kak riri  


0 Komentar

"Jika kamu ingin membangun hal besar, mulailah dari langkah terkecil!"

""Kesuksesan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Seperti sebuah perjalanan panjang, setiap langkah awal adalah fondasi yang membawa Anda lebih dekat ke tujuan. Jangan takut untuk memulai dari hal sederhana, karena di situlah semua mimpi besar mendapatkan bentuknya.""