Menganggur
Sudah berakhir
pandemi yang menyerang umat manusia pada penghujung musim hujan ini dan begitu
pula dengan karirku di dunia pendidikan saat ini. Mungkin kau tak akan pernah
menerka bahwa karirku berada di senja hari yang menutup hari dengan malam.
Indah dalam sesaat bukan? begitu pula dengan karirku saat ini.
Betapa menyenangkannya
di saat orang-orang banyak yang menerima PHK, aku malah diterima bergabung di
lembaga pendidikan berbasis daring/luring. Di saat ekonomi negara semrawut ulah
pandemi, menurunnya daya beli masyarakat, dan pekerjaan makin sulit, aku malah
mendapat gaji yang lumayan kuat untuk bertahan hidup di masa ini. Akan tetapi,
semua itu hanyalah sisi roda lainnya yang berada di atas angin tanpa berpijak
pada tanah. Waktunya akan tiba untuk turun dan bergantian berputar untuk tumpuan
lainnya.
Pada saat
pandemi usai, pekerjaan sudah mulai bermunculan. Beberapa bidang pekerjaan
mulai kembali normal. Orang-orang berbondong-bondong melamar pekerjaan. Akan
tetapi, pada saat pengumuman, namaku keluar sebagai pecundang. Bukannya
diterima masuk dalam pekerjaan, aku justru ditendang dari perusahaan.
Meratapi nasib
yang menganggur setelah masa pengangguran usai, ruwet memang.
Dengan penuh makna,
pandanganku tertuju ke langit-langit rumah sambil memandangi nasib di masa lalu
dan masa depan.
"Bagaimana
dengan masa-masa berikutnya" pikirku.
Pada masa lalu rasa
simpati muncul terhadap buruh pabrik yang diputus hubungan kerjanya. Sementara
itu, kondisi sedang sulit ketersediaan menipis. Untung saja para petani,
peternak, dan nelayan tidak percaya pada isu pandemi dan tetap melakukan
pekerjaannya sehingga stok melimpah. Akan tetapi, apa yang akan digunakan untuk
membeli kebutuhan pokok tersebut. Buruh dalam posisi ketiadaan. Anak istri di
rumah mau makan apa. Beras sudah tidak ada.
Pikirku,
mengapa mereka tidak melamar pekerjaan lain. Mereka bisa juga membuka usaha
baru dengan gaji terakhirnya. Terakhir, jual barang berharga dan sebagainya.
Mungkin, jalan terakhir adalah dengan meminjam uang di bank atau menggadaikan
barang. Ada banyak solusi menuju roma. Setidaknya, berusahalah bertahan hidup
hingga pandemi usai.
Kenyataan yang
kualami saat ini adalah jawabannya. Uang simpanan selama ini hanya cukup untuk
kebutuhan hidup sampai 1-3 bulan. Menjual barang berharga pun tidak ada yang berminat
membeli, sedangkan diri ini tidak punya apa-apa untuk dijual, rumah saja masih
sewa dan sekarang serumah menjadi beban mertua. Lalu, bagaimana bisa memberikan
jaminan terhadap uang pinjaman. Membuat modal usaha berisiko tinggi. Selain
hanya akan sepi, modal pun belum tentu terpenuhi. Akhirnya, raga ini pontang-panting
melamar pekerjaan yang kemungkinan kecil akan dipanggil.
Berikutnya,
bagaimana dengan program pemerintah perihal bantuan PKH terhadap rakyat miskin
yang terdampak pandemi. Ah sudahlah, seorang perantauan di negeri seberang
tidak perlu berharap apa-apa. Bantuan hanya melekat pada warga miskin yang
terdata saja dan juga saudara perangkat desa. Sudahlah cukup diri ini saja yang
terkena imbasnya. Mungkin saja, misteri ini menimpa setelah orang-orang lebih
dulu mengalaminya.
Tidak ada komentar: