Sebelas Orang Gila di Kotaku
Semalam aku
bermimpi kedatangan seorang lelaki dengan rambut habis dicukur. Sisi rambutnya
yang rapi hingga cambang di pipi tampak berkilat diminyaki, tak berbau,
barangkali ia memakai minyak kemiri atau zaitun. Si lelaki tersenyum. Meski merasa
cukup akrab dengan senyuman itu, sesungguhnya aku tak mengingat apa pun. Sampai
ia menepuk pundakku dan berkata “terima kasih, sampan telah mencukur dan
memberi kami pakaian. Teruka mencukur dan memberi pakaian mudah-mudahan
keburukan-keburukan sampeyan juga
terpangkas dan apa yang sampeyan
kenakan tak mudah tersingkap.”
Laki-laki itu
lalu meraba ke dalam kantong kulitya. Kantong itu tak asing bagiku. Hanya saja
kantong itu sekarang tergantung di pinggangnya. Secebis kertas ia keluarkan dan
ulurkan ke tanganku. Sebelum mengambilnya aku baca apa yang tersurat: Fawas bin
Jazuli – namaku!
Aku menyambutnya
sambil menggenggam telapak tangannya yang lunak. Begitu saja, ia lalu
menghilang dan aku pun terbangun seiring suara azan.
Entah kenapa
tengkuk dan dahiku penuh keringat. Padahal mimpi itu sama sekali tak
menakutkan. Berbeda dengan mimpi-mimpiku yang kabur saat bangun tidur, karena
itu tak pernah kupikirkan, mimpi barusan sungguh jernih. Semua membayang,
terang-benderang. Meski ketika bermimpi aku belum sempat mengenali sosok yang
datang, tapi saat terduduk di tepi ranjang aku tahu sosok barusan tak lain
seorang gila di kotaku. Entah si gila ke berapa yang pernah kududukkan di atas
batu hitam di bawah pohon mangga samping rumah.
Membawa orang
gila ke rumah, mencukur dan mengganti pakaian mereka, sudah lama aku lakukan. Aku
tak tahu persis sejak kapan dan entah apa yang mendorong aku demikian. Aku hanya
ingat bahwa kota kecilku dipenuhi orang gila yang berkeliaran dari ujung barat
ke timur dan dari timur ke barat. Sebagai kota kecil yang membentang lurus di
jalan tanpa simpang, arah utama memang hanya timur dan barat. Ada satu-dua
simpang, namun tak terlalu berarti karena pendek saja, ke pelabuhan atau ke
arah gunung yang segera suwwung
begitu satu-dua rumah habis terlewati.
Karena itu,
gerak kami seisi kota lebih banyak seturut jalan lurus, dan begitu pulalah
orang-orang gila yang berkeliaran siang=malam. Kadang mereka singgah di pasar,
pelabuhan, tempat pelelangan ikan, pompa bensin, satu-dua warung, atau tak
mampir ke Manama, hanya tertidur di bawah pohon asam yang memang berderet di
kiri=kanan jalan kotaku.
Satu hari,
saat duduk di muka rumah, aku melihat dua orang gila berpapasan di trotoar. Mula-mula
mereka saling pandang, lalu satu di antara mereka menundukkan wajah, dan seorang
lagi tampak mengamati keadaan. Setelah merasa aman, si gila dari arah timur
mendekat kepada si gila dari barat. Saat itulah aku saksikan dengan mata kepala
sendiri si gila dari barat mencium tangan si gila dari timur, lantas mereka
bercakap-cakap. Aku tak tahu apa yang reka percakapkan, namun terasa sekali
saat mereka bercakap suasana mendadak lain: angin berhenti berhembus,
pohon-pohon asam tegak tugu tak satu pun menggugurkan daun, burung-burung
terdiam, bahkan kendaraan yang biasa ramai tak satu pun lewat seolah teratahan
di satu tempat.
Dalam situasi
biasa, itu bukan sesuatu yang mesti dipikirkan. Sebab, sebagai kota dengan
banyak orang gila =meski tak tercatat di jawatan kota kami- papasan sesama
mereka tentu hal biasa. Bahkan lebih dari papasan bisa terjadi. Pernah mereka
saling tubruk, membuat ayan satu terlempar ke jalan raya lalu keserempet motor
yang membawa ikan; si gila tak apa0apa hanya dua keranjang ikan tumpah di
aspal. Si pedagang ikan menyumah, tapi
si gila tertawa-tawa.
Lain waktu,
tiga orang gila berjalan bersama-sama dalam damai. Tapi begitu sampai di muka
toko swalayan mereka sontak jadi galak. Mereka menunjuk-nunjuk toko
berjejaringan besar itu, yang di kota kecilku jumlahnya sudah empat, seolah
kekasih yang berdiri berpasangan di dua tempat.
Banyak lagi berangan
aneh mereka yang sudah kami anggap biasa. Tapi bahwa mereka bercakap-cakap di
trotoar dan membuat aku tertarik, tiada lain lantaran Liu ajaib mereka
bersalaman dengan takzim. Dan itu didukung suasana alam yang mendadak gaib. Lebih
dari itu aku ingin mengatakan bahwa baru kali itulah sesungguhnya aku benar-benar
memperhatikan mereka, orang-orang gila yang melintas di depan rumah atau
sepanjang jalan kota kecilku.
Mengapa orang
gila begitu banyak di kotaku? Apakah karena terletak di jalur lintas utama,
atau karena berbatasan dengan kawasan hutan? Apakah mereka seperti kucing yang
dibuang pemiliknya di tempat sepi? Semua itu bisa jadi benar, namun mengapa
hanya kota kami? Di timur, sebelum hutan, sebenarnya masih ada satu kota kecil
lagi. Seharusnya kota itulah yang dipenuhi orang gila. Tapi malah tidak. Aku tak
tahu kenapa, namun ketidaktahuan justru menggerakkan hatiku untuk tahu. Maka mulailah
aku memperhatikan orang-orang gila yang berkeliaran, perpaduan sikap iseng dan
kesungguhan. Itu cukup menyenangkan mengisi waktuku sebagai orang yang tanpa
pekerjaan.
Dulu aku
pernah menjadi juru timbang di tempat pelelangan ikan, meskipun ayahku tidak
setuju. Mula-mula aku kira ayah tak setuju karena aku seorang santri keluaran
pondok terkenal di ibu kota kabupaten, bisa saja ia malu. Kemudian ku ketahui,
ayah ayah tak setuju karena itu persoalan timbang-menimbang yang risikonya
besar. Di akhir, amal menimbang termasuk yang dihisab pertama.
Tentu aku
sendiri mengetahui perkara itu dan kubilang kepada ayah justru karena aku tahu
maka tugas akulah untuk menimbang seadil-adilnya. Namun ternyata itu tak mudah.
Aku harus mengikuti permainan umum para juru timbang di pelabuhan yang serba
cepat. Belum tenang mata timbangan, ikan sudah harus diturunkan dan diganti
keranjang atau karung yang lain. Akhirnya, aku membenarkan ayahku. Sebagai ustad
yang cukup dihormati di kota kami, ayahku memang cermat dalam urusan fiqih. Konon,
ia memutuskan pergi ke luar kampung di ujung pulau garam sana karena soal
ketelitian ini juga.
Bosan dalam
pusaran suara keras, keranjang yang dibanting atau ikan yang dilempar, aku
beralih menjadi penjual telur keliling yang harus bertindak halus, lembut, dan
hati-hati. Aku berkeliling ke kampung-kampung perenak yang atau bebek, tapi
lantas kalah saing. Orang yang punya modal besar bisa meninggalkan uangnya
langsung kepada pengumpul atau peternak, dan ketika aku datang tak mendapat
bagian. Pernah aku protes untuk disisakan sedikit jatah, namun mereka dengan
suara ketus dan wajah sangar bilang itu sudah aturan main sejak lama.
“sampeyan
pemain baru harus terima,” kata salah seorang.
“tak punya Modal,
ya, jual teler ceplokan sana!” sahut yang lain.
Aku tak habis
pikir bagaimana orang-orang kasar seperti itu bisa berurusan dengan telur?
Setelah bangkrut
aku diajak kawanku semasa di pondok untuk ikut membantunya mengajar, namun
hanya delapan bulan aku bertahan. Aku lalu memutuskan istirahat dari pekerjaan “resmi”,
tinggal di rumah yang kemudian menjadi tempat ngumpul banyak anak-anak muda. Aku pandai memotong rambut, namun
ketika ayah memintaku membuka tempat cukur di depan rumah, aku menolak, dan
memilih mencukur Cuma-Cuma kepala anak-anak muda yang datang. Mereka mengulurkan
kepala kepadaku. Sambil memotong rambut itulah aku biasa bercerita tentang
soal-soal agama sebatas yang kukuasai sekaligus mendengar keluh-kesah mereka
tanpa batas. Jika sudah begitu, kepala mereka yang awalnya sekeras timbangan
berubah menjadi selunak cangkang telur. Meski kuakui, makin lunak kepala
seseorang kadang makin sulit diatur, tapi maqam-nya
Ian sudah beda: sabar-bukankah itu
sebaik-baik tingkatan?
Apa pun,
anak-anak muda itu senang, dan aku senang karena mereka senang, ada yang datang
mengahak kawannya dengan tubuh penuh tato, di lain waktu ada yang membawa ayam
aduan. Minuman keras botolan dan tuak dalam bumbung, biasa mereka selundupkan
di balik jaket. Bagaimanapun mereka tak ingin dilihat ayah-ibuku. Aku meladeni
perangai mereka, mendengar keluh-kesah mereka, tentu tak hanya saat cukuran,
juga saat duduk di balai-balai sambil merokok, ngopi, makan rengginan.
Alhamdulillah,
pelan-pelan mulai kurasakan ada perubahan. Yang kerap membawa minuman mulai
datang dengan tangan kosong, yang bicara perempuan mulai terasa dengan sikap
hormat. Bahkan di luar dugaan, jago kebanggaan mereka satu per satu dibawa ke
balai-balai dalam bentuk ayam panggang atau goreng, dan kami gasak ramai-ramai
seolah merayakan penebusan sekaligus balas dendam.
Sejak menyaksikan
pertemuan ganjil sekaligus ajaib di trotoar itu, aku lantas menyuruh anak0anak
muda yang nongkrong di rumah supaya mencegat orang gila yang lewat, menyeretnya
ke samping rumah, dan rambut mereka yang panjang tak terurus segera aku cukur. Yang
lain menyiapkan air di olah, handuk, sarung, pakaian. Si gila kadang meronta,
histeris dan menggigit, tapi kami lanjut terus.
Ada pula yang
diam pasrah seolah mayat yang tak bisa apa-apa. Kami mengganti celana dan bakung
yang sobek-sobek, selegam tanah, dengan pakaian bersih pantas pakai. Kupakaikan
pula sepasang sandal jepit. Hanya asesoris mereka yang sengaja tak kuganti
sepanjang tak mengganggu gerak mereka. Misalnya seorang yang menggayutkan
segulung tali kapal di bahu, membuat langkahnya miring ke kanan, kami ganti
dengan tali pramuka yang ringan. Sebaliknya, buntalan kecil yang selalu dibawa
salah seorang aku biarkan. Kupikir tak tergantikan, selain juga ia pegang
erat-erat seperti memegang rahasia hidup.
Begitulah, entah
sudah berapa kepala orang gila yang kucukur (bukan menggunduli), dan tak pernah
kuperhatikan lagi setelah dilepas. Namun mimpi semalam membuatku memikirkan
mereka, dan untuk pertama kalinya kusadari, mengapa selalu saja ada orang gila
yang kucukur dan kubersihkan? Bera jumlah mereka sesungguhnya? Aku yakin tak
akan mendapat jawaban di jawatan statistik atau kantor pemerintah kota kami. Aku
juga tak ingin meminta anak-anak muda yang datang ke rumah untuk menghitungnya,
biarlah kuhitung sendiri.
Setiap hari
aku lalu menyusuri trotoar dan mulai menghitung diam-diam. Sekilas wajah mereka
susah dibedakan karena kondisinya sama-sama payah. Tapi sebenarnya mudah, cukup
lihat asesoris unik yang melekat pada diri masing-masing. Ya Buntaran, kalung,
manik-manik, ikat kepala, atau segulung tali di pundak. Atau ciri fisik yang
tak sepenuhnya tertutup oleh keterlantaran dan kegilaan. Gigi tongos, pipi kemplang,
kumis dan cambang, atau jalan yang pincang tapi cepat. Juga sikap dan
pembawaan: yang senang menunjuk-nunjuk langit, yang gemar menangkap angin, yang
memeluk pohon asam dengan terisak-isak, dan seterusnya.
Paling gampang
tentu perbedaan jenis kelamin, namun hampir semua orang Hilda di kotaku adalah laki-laki.
Pernah sekali-dua perempuan, satu terlihat antuk, ternyata waria, satu lagi haul
tua. Tapi baik baru datang maupun yang sudah pergi selalu bukan perempuan—kami bahkan
tak tahu di mana si hamil tua itu melahirkan.
Apa pun, aku
bisa lancar menghitung. Hari itu jumlah mereka kudapatkan sebelas orang. Semuanya
laki-laki. Tak cukup yakin, hari berikut kucoba menghitung lagi mana tahu ada
yang luput. Setelah bolak-balik menghitung jumlahnya tetap sebelas. Uniknya mereka
yang pernah kucukur tak kutemukan lagi.
Lama kemudian
aku sadari bahwa setiap seorang gila selesai kucukur dan kubersihkan, ternyata
akan menghilang, aku kutemukan. Tapi anehnya, ketika luhung jumlah keseluruhan
yang tinggal tetap sebelas. Dan lebih aneh lagi bahwa salah seorang di antara
si gila itu tak pernah pergi atau berganti, meskipun kepalanya sudah beberapa
kali aku cukur! Itulah dia, si pembawa kantong kulit, dan dalam wujud yang
berbeda mendatangiku dalam mimpi!
Aku pernah
mengujinya. Aku cukur tiga orang sekaligus, lalu melepasnya. Sehari-dua hari
kulihat mereka masih berkeliaran. Jadi kupikir memang tak ada yang perlu dibuat
penasaran. Apa yang kuanggap menghilang mungkin hanya kebetulan. Maka mereka
tak lagi kuperhatikan. Tapi selang sepekan, aku tak melihat mereka lewat. Kucoba
mencarinya, nihil. Tak seorang pun di antara yang tiga itu kulihat lagi. Ah,
apakah mereka para wali yang menyamar?
Sebalinya,
ketika si pembawa kantong kulit kembali kucukur dan pakaiannya kuganti –meski rambutnya
masih pendek dan pakaiannya masih bersih- ia tetap terlihat di jalan. Ia tak
pernah pergi. Siapa dia? Paskah dia si pemimpin? Aku tak tahu. Aku coba
mengingat kembali peristiwa ajaib yang pernah kusaksikan. Apakah tangannya yang
dulu dicium dengan takzim? Sayang aku tak bisa mengingatnya persis.
Rasa penasaranku
jadi tak tertanggungkan. Segera kuputuskan untuk menghitung orang gila tersisa.
Jika hitungan terakhir sebelas, dikurangi tiga yang raib, tentu jadi Lapan. Jika
bertambah, jumlahnya bisa sepuluh atau sembilan, atau dua belas, tiga belas,
dan seterusnya.
Tapi, demi
tuhan yang maha perhitungan, jumlahnya tetap sebelas!
Aku mulai di mabuk
bayang, mabuk kepayang. Kucukur seorang, hilang seorang, dan datang lagi
seorang. Kucukur dua atau tiga orang, digantikan lagi oleh dua-tiga orang,
kecuali satu orang: si pembawa kantong kulit!
Aku mulai
larut memikirkan hal-hal tak kuduga. Apakah mereka bukan orang gila? Hanya gila
dalam pandangan kami yang kasa mata? Apakah mereka malaikat tuhan yang
menyamar? Atau mata-mata entah siapa, dan mengapa harus kotaku? Kotaku hanya
kota kecil yang sedang tumbuh, buat apa diawasi? Memang kami punya pelabuhan
antarpulau, pelelangan ikan, satu pompa bensin, pabrik gula, lima bekel motor,
empat toko swalayan, satu pasar, dua bank, dan lebihnya pondok pesantren yang
tersebar di sudut atau batas kota. Satu di antaranya pondok tertua, pendirinya –dengan
senyum teduh sejuk- tercatat dalam sejarah Nahdatul ulama. Aku tentu dengar sliweran berita tentang serbuan tenaga
kerja asing, atau orang-orang berambut cepak yang menyusup. Tapi aku tak yakin
ada hubungannya dengan kotaku.
Sungguh pun
begitu, aku tak menampik kemungkinan. Aku ingat peristiwa beberapa tahun
berselang: pembantaian orang gila yang bermula dari isu ninja di sebuah kota
lebih ke timur, lalu menjalar ke kota kecil kami. Tiga orang gila pernah jadi
korban sia-sia, dicincang dan dibakar. Orang-orang kalap menganggap mereka
jelmaan ninja yang sedang mengintai guru mengaji. Belajar pada peristiwa itu,
seharusnya aku menganggap kotaku bukan kota biasa.
Maka, hari
ini, sehabis bermimpi, aku ingin kembali turun ke jalan. Tengkuk dan dahiku
masih basah oleh keringat, kuusap, terasa seperti minyak zaitun atau kemiri. Tapi
aku tak peduli. Aku segera berangkat ke tempat pelelangan ikan, bom bensin, los
pasar, ke rimbunan pohon asam, tanpa menghiraukan sapaan orang-orang. Di Ita kecil
ini kami memang saling kenal. Tapi, sekali lagi, aku sudah tak peduli, kecuali
ingin satu hal: menghitung dan menghitung lagi.
Astaga, dalam
hitungan terakhir jumlah mereka hanya sepuluh!
Mana yang
satu? Mana laki-laki berkantong kulit itu? Apakah mimpi semalam adalah
pertemuan kami yang terakhir? Tiba-tiba aku merasakan ada yang hilang, semacam
mata rantai atau siklus yang putus. Hal yang selama ini kuduga menjaga kotaku
tumbuh tenteram dan damai di engah urusan timbang-menimbang yang belum dibereskan,
toko swalayan yang kelebihan atau bunga bank yang kian mekar. Orang-orang gila
yang diberi makan dan tempat berteduh serta tak pernah diganggu (ah, aku malu
menyebut soal dicukur!), kubayangkan jadi penyeimbang segala ketakberesan itu.
Tapi kini
jumlahnya berkurang. Lalu apakah sekarang giliranku? Aku tak tahu. Aku hanya
ingin terus berjalan dari timur ke barat, dari barat ke timur. Menghitung dan
menghitung seperti orang berzikir, tak putus-putus, sepanjang hari, siang dan
malam. Biar pun sebenarnya aku hanya mondar-mandir di trotoar sambil mendengar
orang-orang berbisik, “kasihan, ia terganggu ingatan!”
“mungkin
hanya stres. Bisnis telurnya jatuh, jodohnya menjauh.”
“Hus, Nak
Fawaz itu lagi tikarat tak iya’!”
“mudah-mudahan
begitu.”
“mudah-mudahan”
Dari bisik
dan tatapan, aku tahu mereka jatuh iba. Ayah dan ibuku terlebih lagi. Mereka jatuh
sakit. Adik-adikku membujukku pulang, kerabatku memaksaku ke rumah seorang kiai
yang bisa menerapi kejiwaan, sebagian terang-terangan ingin membawaku ke rumah
sakit jiwa. Tapi aku merasa semua itu tidak perlu. Beruntung, anak-anak muda
yang biasa nongkrong bersamaku tak beraksi apa-apa ketika diminta menangkapkau.
“mas Fawaz
hanya nglakoni,” kata seorang dengan
mata berkaca. Sungguh pun begitu, aku sendiri merasa harus pergi. Aku justru
jatuh iba melihat ayah-ibuku.
Satu malam
aku berjalan ke timur, ke arah hutan yang sepi. Di belakang, sepuluh orang
mengikutiku. Aku baru menyadari ketika beberapa truk berjalan lambat padahal
aku jalan di tepi. Saat berpaling ke belakang, ternyata mereka yang mengikutiku
berjalan tak teratur hingga ke tengah jalan. Untuk pertama kali aku kibaskan
tangan tangan supaya memberi laluan. Namun di tanjakan Taj, sebuah truk
kutemukan benar-benar berhenti, mogok. Sejumlah orang kampung sebagaimana
lazimnya mengatur lalu-lintas. Mereka membuat api unggun, sambil mengulurkan
topi minta sumbangan. Kusentuh bokong truk sarat muatan itu. Truk terguncang. Kukibaskan
tanganku lagi, dan dua orang bergegas mendorongnya. Truk bergerak ringan ke
atas bagai sekarung kapas.
Orang-orang
yang mengatur lalu lintas cengang takjub. Satu-dua orang tak terima keajaiban
di depan mata. Tentu karena rezeki kecil mereka telah lenyap. Merek mengejarku,
tapi segera mengenaliku sebagai orang kota sebelah. Lebih dari itu kukira
karena ku seorang santri dan ayahku ustad terhormat. Mereka merunduk, “maaf, Blora...”
Aku tak
menjawab. Aku lanjutkan langkah, bukan lagi menapak jalan besar. Aku berbelok
ke dalam hutan. Kepada rombongan yang mengikutiku kukibaskan tangan agar
berbalik. Kerapatan pohon jati, semak belukar. Masih kudengar mereka di sekitar
truk tergagap, “cahaya, lihat, begitu terang menyilaukan!”
Aku tak lagi
perhatikan suara-suara. Bahkan ketika beberapa hari kemudian serombongan anak
muda mencariku ke ceruk hutan tersembunyi, aku hanya berkata, “turunlah ke kota
kita.”
Mereka patuh,
tapi aku tak tahu apakah mereka turun untuk berkeliaran di jalan atau mengurung
diri di rumah. Aku juga tak tahu apakah jumlah orang gila di kotaku masih tetap
sebelas, berkurang atau bertambah. Mungkin giliran sampeyan yang menghitungnya. ***
Jawa Pos – Minggu 12 Februari 2017
/RumahlebahJogjakarta,
Oktober
2016-Februari 2017
RAUDAL TANJUNG BENUA, lahir di Lansano, pesisir Selatan, Sumatera
Barat, 19 Januari 1975. Tinggal di Yogyakarta. Bukunya antara lain, Parang tak Berulu (2005) dan Api Bawah Tanah (2013).
google-site-verification: googlefc56f6000cbfe0ee.html
google-site-verification: googlefc56f6000cbfe0ee.html
Tidak ada komentar: