Kendi Harapan

Resah di pundak terpikul berulang-ulang. Menapaki lorong kehidupan tak kunjung tergapai sinar ke pangkuan. Mengharap terpanggil oleh rahmat Tuhan. Membayangkan kendi nan-usang yang masih terisi oleh harapan dan sesal.


Joko yang pundaknya masih memar dan lebam beringsut melaju ke hamparan harapannya. Ibunya yang sedang sekarat karena uzur dan istrinya undur dari ribaan beserta anak keturunannya menjadi alasan untuk mewujudkan harapan dan menutup sesalnya.


Tak pupus di tengah langkah, dia mengarungi lorong-lorong walaupun sering bermuara pada bejana kelam.


“Mengapa kau tidak pindah haluan saja Joko?” ujar ibunya yang sedang menyedu bubur bayam liar hasil panen anaknya dari pinggiran kebun orang yang nyaris dibakar karena menjadi hama sambil memperhatikan raut dahi Joko sebelum beranjak mencari penghidupan di tengah kebingungannya.


Namun, Joko sebenarnya tidak mengharap apa-apa dari ibunya. Pada Tuhan saja, Joko sudah putus asa. Seribu satu harapan Joko tak kunjung terkabul sehingga dia hanya menghela napas saja. Dia menatap lekat-lekat wajah ibunya. Dahinya semakin mengerut menatap ibunya sedang komat-kamit memamah bubur bayam liar sisa kemarin sore. Dia sempat teringat dengan pernyataan tetangganya yang cawi-cawi terhadap hidupnya agar Joko membiarkan ibunya untuk menjadi mendiang saja.


Mungkin saja, istri dan anaknya sudah tidak tahan untuk merawat ibu tua renta itu. Joko juga teringat dengan hal lain yang membuatnya bergegas beranjak. Kendi usah yang hanya berisi harapan dan sesal. Dalam keadaan membisu, dia meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata apa pun dari bibirnya untuk menjemput harapan baru dan penyesalan baru.

 

***



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.