Ziarah Para Pembunuh
Bukan makam
“aku mencari-Mu.”
“Aku tak ada.”
“Bukalah pintu-Mu.”
“Aku hendak Menziarahi-Mu,”
“Aku bukan makam.”
Menonton Pembunuhan
/1/
Kau memulai perjalanan panjangmu
dari sebuah kota Yat dikepung sungai-sungai jernih. Setelah itu, kau
meninggalkan rumah jagal sapi, pasar becek penuh ikan-ikan busuk, sanatorium
bercat merah tua, dan gereja di ujung jalan, kau tidak lagi melihat kolam
renang untuk ujung jalan, kau tidak lagi melihat kolam renang untuk bocah-bocah
miskin, kuburan di atas bukit, perempuan-perempuan gila istri tentara, toko
roti, kelenteng naga, dan rumah hijau mantan istri presiden,
Kau juga mulai merasakan
alun-alun berpatung pahlawan, kampung yang pengap, sais andong yang dituduh
sebagai antek komunis, menara bergambar bekisar, penjual ayam potong yang gemuk
, pemulung sampah di sungai kotor, ular-ular yang tiba melesat dari seratus
lubang, pesulap, dan pedagang minyak wangi tak muncul lagi di mimpimu.
“Mengapa kau meninggalkan apa
pun yang kusukai?”
“Aku Aku hendak menonton
pembunuhan-Mu di kota besar,” katamu.
/2/
Kau tidak langsung ke ibu kota.
Kau justru mampir di kota penuh rumah sakit. Kau masuk ke rumah sakit mata dan
bilang, “Aku tak pernah melihat wajah-Mu. Tidak adakah jejak-Mu di kota ini?”
Kau lalu masuk ke rumah sakit
telinga. Seorang dokter meledekmu, “Orang miskin dilarang congkel, jangan
berharap kau akan mendengar tangis-Nya.”
Pada hari ketiga kau masuk ke
rumah sakit patah kaki. Kau mencari seorang wali. Kau bertanya kepada perawat,
“apakah sebelum dibakar, dua pasang kaki
junjunganku harus dipotong”
/3/
Sebelum melanjutkan perjalanan,
kau bergegas ke pelabuhan melanjutkan perjalanan. Kau menghitung jumlah kapal
pesiar, menghitung turis yang tak peduli pada pemeran lukisan maritim,
menghitung pedagang baju batik yang berteriak tak keruan, “ayo, , belilah baju
yang pernah dikenakan siapa pun sebelum perjamuan terakhir.”
Tak ada layang-layang
beterbangan siang itu. Para nakhoda minum bir di kafe. Wabah kolera menyebar.
Pohon-pohon ditebang. Anjing-anjing dibiarkan berkeliaran.
/4/
Kau memutuskan mengunjungi bukit
penuh kera di pinggir kota. Di bukit dekat danau buatan itu kera-kera seperti
menjadi makhluk kerajaan yang tidak kelihatan. Salah satu kera mungkin telah
menjadi raja. Salah satu kera mungkin telah menjadi ratu. Beberapa kera mungkin
telah menjadi rakyat.
“mereka adalah makhluk-makhluk
yang dihormati oleh para wali. Dulu para wali meminta mereka mencari kayu-kayu
jati di hutan untuk membangun masjid,” kata seorang pemandu kepadamu.
Kau memandang langit. Kau
berharap akan muncul gajah, kuda mil, dan tapir terbang menemanimu
berjalan-jalan di kawasan yang kau anggap hanya sebagai ilusi itu.
Kau kemudian memasuki gua. Kau
ingin membaca tulisan-tulisan kuno dan menyentuh gambar-gambar satwa di dinding
batu yang senantiasa basah.
“apa kau kau pernah singgah di
sini, tuan?”
/5/
Kau bersama orang-orang yang
berjalan sambil tidur kemudian menuju ke stasiun kereta api. Kalian tidak
sempat menatap delapan jam dinding yang menunjuk arah yang berbeda, kelelawar-kelelawar
yang berusaha mencari sarang, lukisan-lukisan tentang para rasul yang sedang
dikepung serdadu, lima belas kucing hitam yang sedang berkelahi, tiga pengamen
berbiola, dan seorang pendeta yang menawarkan surga. Kalian tidak sempat mendengarkan
sepasang kekasih berbincang tentang pembunuhan bandit di terminal, kepak
sepasang burung gagak di dekat loket tiket, panggilan sengau kepada penumpang
yang terlambat, dan Seruyan ajakan berdoa untuk para musafir.
“mengapa kau tidak meminta
dibunuh di sini saja?”
/6/
Di dalam kereta api kau melihat orang-orang tidur mendengkur.
Mereka tidak peduli di luar jendela ada orang-orang yang begitu asyik memukuli
tiang listrik, orang-orang yang bercakap dengan kerbau atau anjing, truk-truk
yang mengangkut sampah, sepeda-sepeda yang dikayuh dengan riang gembira,
kaleng-kaling yang ditendang bocah-bocah gundul, dan penjaja panganan yang
berteriak, “yang lapar, yang lapar, yang lapar....”
Di dalam kereta api, kau bertemu
dengan seseorang yang tengah membaca Kitab
Kesengsaraan.
“mengapa kita sengsara?” kau
bertanya.
“karena orang-orang begitu
berhasrat membunuh sang juru selamat?”
“karena ada yang ingin jadi juru
selamat.”
“mengapa ada yang ingin jadi
juru selamat?”
“karena trotoar-trotoar
dibongkar?
“mengapa tiba-tiba kau berbicara
tentang trotoar?”
Mengapa tidak boleh mencibir?”
“mengapa tiba-tiba kau berhasrat
mencibir?”
“mengapa tidak boleh tidur?”
“mengapa kau tiba-tiba ingin
tidur?”
“karena sang juru selamat hendak
dibunuh dan kau diam saja.”
“karena itukah kita sengsara?”
kau melontarkan pertanyaan ngawur.
“ya,” kata seorang yang
menyerupai rahib itu, “karena itulah kita sengsara.”
/7/
Akhirnya kau sampai di ibu kota.
Kau melihat orang-orang menunggang unta mengibarkan bendera-bendera hitam
bergambar tikus. Kau mendengarkan teriakan-teriakan parau para penunggang unta
yang sedang menghujat gubernur.
“mengapa belum dibunuh? Kalau
tak bisa membunuh, kami sendiri yang akan menusukkan tombak ke lambung!” teriak
mereka.
“aku belum menemukan kesalahan
makhluk yang kau anggap sebagai sang juru selamat ini,” kata gubernur.
“dia telah menista agama lama,”
kata para penunggang unta.
“bunuh dia!”
Bunuh dia”
Bunuh dia!”
“aku tak mau membunuh dia, aku
tidak akan menemukan kesalahan dia.”
“salibkan dia!”
“salibkan dia!”
“salibkan dia!”
/8/
Kau tidak berani menonton orang
beramai-ramai membunuh-Ku. Kau justru menyingkir dari kerumunan dan bergegas
menuju ke taman. Kau menangis dan segera meneriakkan doa tak pantas kepada-Ku.
”mengapa kau takut, Tuhanku?
Mengapa kau tak melawan para pembunuh-Mu?”
/9/
J”jangan kau lihat apapun yang
tak pantas kau lihat,” kata Ku, “pergilah ke arah kota oma. Temukan lorong ke
arah rumah kuno. Temukan seorang perempuan suci. Ajak ia bercakap tentang Sang
juru selamat yang harus segera dilahirkan kembali.”
/10/
Kau pun ke kota lama tetapi kau
justru menemukan katakomba.
“a[kau kelak Kau akan dimakamkan
di sini?” kau bertanya kepada-Ku.
Aku diam. Aku tak berhasrat
menjawab apakah para penunggang unta di alun-alun bakal bisa membunuh-Ku.
/11/
Akhirnya kau tertidur di
katakomba. Kau bermimpi ibu kota terbakar. Orang-orang berlarian ke jalan-jalan
di bawah tanah. Orang-orang terus berjalan ke pusat bumi. Menjadi musafir.
Musafir abadi.
/12/
“apakah mereka masih berhasrat
membunuh-Mu?” kau bertanya.
“apakah kau masih berhasrat
menonton pembunahanku?”
/13/
“aku masih ingin menonton
pembunuhan-Mu,” kataku.
“pergilah ke kota mana pun. Di
mana-mana kau akan begitu gampang melihat para penunggang unta beramai-ramai
membunuh-Ku.”
“di kota mana pun?”
“ya. Di kota mana pun. Segeralah
naik pesawat terbang pertama ke kota terdekat, mereka akan membunuh-Ku sesaat
setelah tsunami reda.”
“setelah gempa pertama?”
“setelah gempa ketiga.”
/14/
“apakah kau bisa dibunuh??” kau
bertanya.
“apakah kau masih menyaksikan kehebatan
para penunggang unta?” kata-Ku.
/15/
Kau pun naik pesawat terbang
ketiga, kau terbang ke kota terjauh dengan penerbangan terlama. Kau ingin
menjadi musafir yang patuh. Kau ingin menonton pembunuhan-Ku di luar jadwal. Di
luar arena.....
Waktu mati
/1/
Bersama para musafir lain kau
mulai membicarakan kematian-Ku di lorong menuju ke bukit orang mati. Jam di
menara berdentang berkali-kali. Burung-burung bertabrakan. Mereka mati dan
bangkit lagi menjelang pagi..
“kau tahu kapan lelaki miskin
yang dianggap tuhan oleh para rasul akan mati?” kau berbisik kepada seorang
perempuan.
“kau harus melihat kalender tapi
tak ada barang rongsokan itu di sini bukan?”
“apakah ia akan mati di bukit
yang indah ini?” kau menunjukkan potret kepada perempuan berkacamata hitam
itu.”
“jangan meledek. Aku buta sejak
lima tahun lalu.”
“maafkan aku. Aku....”
“maaf? Sejak lima tahun lalu aku
tidak bisa melihat buku-buku sejarah kematian siapa pan di meja kerja. Tak bisa
melihat arloji yang tergeletak, kabel-kabel yang menjulur, telepon genggam
tanpa bunyu, paspor sebotol air mineral, pulpen putih, mesin ketik, dan koran
lusuh.”
Kau lalu meninggalkan perempuan
itu. Kau tidak yakin sebentar lagi akan menyaksikan beberapa orang membakar-Ku.
Karena itu, kau pun bergumam, “jika pun ada yang akan membunuh-Mu, aku berharap
mereka segera dihajar oleh guncangan
waktu. Aku berharap mereka lupa kapan siang kapan malam kapan pagi kapan sore
lupa kapan harus membunuh-Mu kau berpikir jika aku ada maka kapan pun Aku akan
ada. Ada pada senin pukul 11.00. ada pada selasa pukul 11.00. ada pada 12
Februari malam. “kau akan berulang-ulang ada. Mungkin kau akan berulang-ulang
dimatikan tetapi kau juga akan berulang-ulang dihidupkan,: katamu.
/2/
Masih di lorong yang tidak
terlalu sunyi itu, seseorang serupa rahib bertanya, “siapakah engkau pada masa
silam, Tuan musafir?”
Kau tak tahu siapa kau pada masa
lalu. Kau berharap kau bukan rasul penghianat. Kau berharap kau bukan
Amangkurat atau Tunggal Ametung. Kau berharap kau bukan salah seorang dari para
firaun taptu ajal penyembah berhala.
“apakah kau serdadu pembunuh
yang mengepung rumah para rasul yang tengah berdoa untuk keselamatan semesta?”
pengemis itu bertanya lagi.
Kau tak tahu apakah kau serdadu
apakah kau raja.
Kau hanya merasakan keanehan karena tiba-tiba
merasa berjalan-jalan di gurun, menatap para pasukan berkuda memburu lelaki
lembut yang hendak dibakar, dan mendengar suara burung ababil tak henti-henti
bersahutan di langit kelabu.
“aku berharap kau tidak menjadi
pembunuh, Tuan musafir, aku berharap kau tidak jadi pembunuh,” seseorang serupa
petapa serupa pengemis itu menepuk pundakmu.
/3/
Kau masih merasa hidup pada masa
silam. Masa ketika kau bisa bercakap-cakap dengan para malaikat. Malaikat
bernama maupun malaikat tak bernama. Malaikat bersayap hijau maupun bersayap
merah.
“apakah kau benar-benar
mencintai Tuhan??” kata malaikat Hijau.
Kau mengangguk. Kau tahu
kesetiaanmu sedang diuji.
“apakah kau tidak akan pernah
menghianati kesetiaan Tuhan? Tanya malaikat merah.
Kau mengangguk. Kau tahu kian
lama ujian kian berat.
“segeralah terbang ke masa
depan. Kau akan segera tahu kau akan gampang jadi penghianat kata malaikat
hitam.
Kau tertunduk. Kau tak berani
mendengarkan lagi apa pun yang diucapkan oleh para malaikat.
/4/
Kau masih tertunduk ketika
menyadari masih berada di sebuah lorong menuju ke bukit orang mati. Bukit
tempat orang-orang uang kalap berebut membakar-Ku.
Kau lalu menatap jam dinding dan
segera bertanya kepada-Ku. “apakah waktu pembunuhan itu telah tiba. Tuan?”
Aku tidak menjawab pertanyaanmu.
Kau terus memandang jam dinding dan kian meragukan apa pun yang bakal terjadi
pada masa depan,
Kau yakin benar-benar telah
terjadi guncangan waktu. Waktu berubah jadi kucing setiap Senin. Jadi anjing
setiap Selasa. Jadi gelatik setip Kamis. Jadi ular setiap umat. Jadi ikan
setiap Sabtu. Jadi langit setiap Minggu.
Tak ada waktu batu. Tak ada
waktu rumput. Tak ada waktu angin. Tak ada waktu sungai. Tak ada waktu gunung.
Tak ada waktu pisau. Tak ada waktu radio.
Waktu berulang jadi kucing. Waktu
berulang jadi rumput. Waktu berulang jadi angin.....
Waktu tak jadi kau. Waktu tak
adi Aku....
/5/
Dan sesuatu yang kau anggap
ganjil pun terjadi. Waktu berjalan seperti kura-kura. Lambat laun makin
melambat.
Kau berharap waktu tak berhenti
tiba-tiba.
“apakah Ika waktu mati siapa pun
akan mati?” kau bertanya kepada-Ku
“Kau yakin waktu akan mati?”
“kau yakin waktu akan mati?”
tanya-Ku kepadamu.
/6/
“apakah Kau lebih perkasa dari
waktu?”
“apakah kau menganggap Aku lebih
rapuh dari waktu?”
?7/
Kau yakin Aku dipenjara oleh
waktu. Serupa miliaran sulur, waktu membelit-Ku saat kau berdoa tujuh kali
sehari. Serupa miliaran akar, waktu melilit-Ku saat kau menulis sejarah
pembunuhan orang-orang suci di keriuhan gurun.
/8/
Kau mulai paham betapa waktu
telah mengubah-Ku. Kau mula-mula memahami-Ku sebagai seonggok batu hitam paling
cemerlang di tengah gurun. Kau memujaku karena akun hanya Aku yang layak
disembah. Apakah menurutmu aku batu langit batu hujan batu senja batu laut batu
tak terjangkau?
Kau lalu ragu pada kisah-kisah
Ku sebagai sebagai batu. Kau lalu bilang, “engkaulah saung. Engkaulah hampa.
Engkaulah sesuatu yang tak terduga.”
“lihatlah, Aku! Lihatlah, Aku!
Kata-Ku.”
Aku tak bisa melihat-Mu. Kau
Cuma cahaya. Semata-mata cahaya.”
“kau tak lagi melihatku sebagai
batu?”
“tidak”
Kau tak lagi melihatku sebagai
kuil?”
“tidak/”
“Kau tidak lagi melihatku aku
sebagai pembunuh?”
“pembunuh telah mati, katamu”
“tetapi Aku belum mati, “
kata-Ku.
“karena itulah mereka
berlomba-lomba membunuh-Mu>”
“siapa yang paling mungkin
membunuh-Ku?”
“waktu.”
“siapakah waktu?”
“bukan Kau. Bukan aku.”
“siapakah waktu?”
“ketidakpastian.”
/9/
“apakah kematian-Mu semacam
ketidakpastian juga?” kau bertanya
“Rasanya aku tak pernah
mempersoalkan apakah Aku pasti mati atau tak mati.”
/10/
“aku selalu bercermin dan aku
kian yakin Aku kian mirip dengan waktu. Mungkin Aku memang waktu.”
“mengapa Kau begitu yakin Kau
adalah waktu?”
/11/
“aku ragu apakah waktu bisa
berakhir.” Katamu.
“seharusnya kau bertanya apakah
Aku bisa berakhir,” kata-Ku.
“apakah waktu berakhir pada 14
september 2025?” apakah waktu berakhir pada 11 Februari 2026?”
“seharusnya kau bertanya apakah
saat itu orang-orang masih mengacung-acungkan pedang untuk membelaku.
Seharusnya kau bertanya apakah agama masih
digunakan untuk memuliakan-Ku.”
“apakah waktu baka?” kau
bertanya
“apakah Aku baka?” Aku berbisik
kepadamu.
/12/
“apakah Kau bahagia?” kau
berusaha memandang-Ku.
“apakah Aku perlu bahagia?” Aku
berusaha memandangmu.
Waktu tertawa mendengar
pertanyaan-Ku. Waktu selalu tertawa mendengar apa pun yang kau pertanyakan
kepada-Ku.
“apakah Aku lucu”
“Apakah aku juga lucu?”
“Kau tampak lucu saat waktu
membeku.”
“kau tak pernah lucu meskipun
waktu membeku.”
“Tapi waktu tak pernah membeku.
Dan aku tak pernah menjelma salju.”
/13/
Tetapi selalu ada salju pada
saat waktu mencoba bunuh diri. Selalu ada salju saat yang dianggap baka ingin
menjadi makhluk fana.
“Bagaimana kalau waktu tak ada?”
Aku bertanya.
“”apakah kau mengira Aku juga
tak ada?”
Kau tak bisa menjawab
pertanyaan-Ku. Tetapi kurasa kau yakin sungai-sungai biru berhenti mengalir.
Hujan berubah jadi butir-butir air serba merah. Topi-topi cokelat berterbangan
ke langit dan tak pernah kembali. Selimut menggulung sendiri. Buku-buku
berjatuhan dari almari. Kacamata pecah. Pulpen menangis. Koper-koper
memuntahkan gaun hijau muda. Kau bergagas memuntahkan makanan terakhir.
Roti-roti membusuk. Anggur tumpah.
/14/
“Apakah kau pernah membaca
sejarah waktu?” aku bertanya kepadamu.
“Aku hanya karib dengan sejarah
luka-Mu,” jawabmu.
“Apakah kau tak punya ingatan
tentang waktu?”
“Aku hanya sesekali ingat pada
salju yang membeku di depan pintu.”
“Kalau begitu kau telah
melihat-Ku.”
“Aku tak pernah merasa
melihat-Mu/”
/15/
“”Kau bahkan bisa melihat apa
yang bakal terjadi pada masa depan. Aku yakin, telah melihat di mana mereka
akan membunuh-Ku.”
“Jangan sok tahu.”
“Aku selalu tahu.” Kata-Ku.
/16/
“Apakah kau jadi mati pada saat
gempa? Apakah mereka beramai-ramai membunuh-Mu atau hanya dihajar oleh seorang
penghianat menjelang senja tiba?”
Aku tak mau menjawab
pertanyaanmu. Aku ingin tetap merahasiakan kematian-Ku meskipun, Aku yakin, kau
telah tahu di mana mereka akan membunuh-Ku.
/17/
“Kalau aku tidak pernah
menganggap-Mu bisa dibunuh oleh siapapun, apakah Kau meragukan akal sehatku?”
“Aku tak pernah percaya pada
akal sehat sebagaimana Aku takpernah percaya kepada kedigdayaan sang waktu.”
“Jangan takabur.”
“Aku harus selalu takabur
kepadamu. Aku harus selalu takabur pada waktu.”
/18/
“Apakah Kau merasa bakal hidup
selamanya?”
“Aku tak pernah memikirkan
apakah Aku hidup sebentar atau selamanya.”
/19/
Dan di luar segala pertanyaan, waktu
membatu. Hujan membatu. Menara membantu.
Celana membatu. Palu membatu . Guntung
membatu Badai membatu. Kuburan membatu. Abad membaku.
/20/
“Apakah kau jadi menonton
kematian-Ku? Apakah kau juga ingin menyaksikan kematian waktu?”
Kau tak menjawab pertanyaanku,
Kau merasa terlempar ke pantai.. kau merasa mendirikan Istana pasir dan segera
merubuhkan bangunan rapuh itu.
/21/
“Aku masih berunang kepadamu.” Kata-Ku
“Aku tak pernah merasa
memberikan utang kepada-Mu..”
“Aku berutang bercakap-cakap
santai tentang kematian-Ku kepadamu.”
“Sekarang bincanganlah
kematian-Mu dengan santai kepadaku.”
Kau tahu Aku terkejut
mendengarkan ajakan ramahmu. Kau tahu Aku tak akan sanggup mempercakapkan
dengan ringan kematian-Ku.
/22/
“Apakah setelah Kau mati, aku
boleh mengubur-Mu?”
Aku tak menjawab pertanyaanmu.
Aku tahu bersama para musafir lain kau masih membicarakan kematian-Ku di lorong
menuju ke bukit orang mati. Jam di menara berdetak berkali-kali. Burung-burung
bertabrakan. Mereka mati dan bangkit lagi menjelang pagi.
Waktu juga mati sebentar lagi
waktu juga mati.
Monster
Kini kau sekadar menjadi monster pembunuh bagi siapa pun
yang kau anggap sebagai ajal.
Apakah agama telah merusakmu?***
Semarang
2017
Jawa
Pos Minggu 19 Februari 2017
Triyanto Triwikromo,
peraih penghargaan Tokoh seni pilihan Tempo (2015) untuk kematian kecil kartosoewirjo dan penghargaan sastra 2009 Pusat bahasa
untuk Ular mangkuk Nabi.
Tinggi ya bahasanya..
BalasHapusBanget, banyak tanda bacanya pula.
Hapus