Ada Yoko di Societeit Straat
Jawa Pos Minggu 8 Maret 2016
oleh Vika Wisnu
MINGGU pagi dua hari lalu aku melihatnya di pertengahan Jalan
Veteran. Dari arak lima puluh meteran dan terhalang kaca jendela taksi, aku
dapat mengenalinya dengan baik, Yoko berjalan sangat pelahan, seperti mau
berhenti tapi urung. Menoleh ke kiri dengan gerakan luar biasa lambat—seperti
sengaja diperlambat, matanya terkunci pada sebuah bangunan megah dari sebuah
zaman, gedung yang pernah tersohor dengan nama Societeit Concordia.
Selamat
pagi, kataku—entah apakah ia bahkan menyadari kehadiranku. Suhu udara 25
derajat Celcius. Yoko tak membalas dengan membungkuk dalam-dalam, ia sudah lama
bukan lagi orang Jepang. Punggungnya tetap tegak, ujung dagunya saja yang
menyentak sekilas. Kedua tangannya tersembunyi di balik jaket corduroy tebal
seakan-akan sedang berada di tengah dingin yang tak tertanggungkan.
“Saya
harap Anda tidak mengira gedung itu adalah Indica Gallery,” kusebut nama tempat
bersejarah dalam hidupnya, saksi pertemuan pertamanya dengan John di tahun
1966, basement sebuah toko buku di Mason’s
Yard London yang disulap pemiliknya jadi galeri seni di mana Yoko memamerkan
karya avant guard-nya
yang segera menarik banyak perhatian: Unfinished
Painting.
Minggu
pagi delapan tahun lalu aku berpisah darinya di pertengahan musim panas yang nyelekit. Aku masih
mengenalinya sebagai Julia meski cahaya matanya telah berbeda. Ia berkata
dengan sangat lembut dan hati-hati, “Aku harus pergi.” Belum sempat ada
perayaan second anniversary sejak kami memutuskan untuk
tinggal bersama di apartemenku di Silicon Valley, sejak dia bulat tekad pindah
dari rumah ibunya di sebuah distrik kecil di luar San Fransisco.
“Apa
yang terjadi?” itu saja pertanyaan yang sanggup kupikirkan. Julia menggeleng,
mengemasi barang-barangnya, meninggalkan aku, membawa Stephan yang baru saja
mengawali masa toilet
training dan sudah
mulai bicara, setidaknya sudah cukup fasih memanggilku Daddy dan menyebut Julia
Mommy. Kekasih lamanya, ayah biologis Stephan, menghubunginya lagi, menyesal
telah membiarkannya dalam ketidakpastian, mengaku masih sangat mencintainya,
lalu berjanji menikahinya dan mereka akan hidup bahagia sampai maut memisahkan.
“I
am sorry, Ken.” Sebuah
pelukan, satu ciuman sekilas, dan seucap terima kasih karena telah membantunya
melewati masa sulit, itu yang kudapat. Tak ada amarah, malah ketika Julia
kembali di depan pintuku beberapa hari kemudian, aku sungguh berharap ia
berubah pikiran dan meralat kata-katanya. Ternyata ia cuma mengambil hair straightener yang tertinggal di laci lemari,
dan mengabarkan pernikahannya akan dilaksanakan paling lambat tiga minggu lagi.
“Sudah
lama sekali…,” Yoko tersenyum takjub mendengar kembali perjalanan cintanya dari
mulutku. Ya, hampir lima puluh tahun lalu, potongku sok tahu. Kalau John masih
hidup, pasti kalian akan menggelar ulang tahun pernikahan emas, mungkin pesta
berdua di atas ranjang disaksikan oleh seluruh penduduk bumi, bed-in for peace.
“Setidaknya
kami pernah bermimpi untuk mengubah dunia,” tawa Yoko memecah, riang.
“Kalau
begitu Anda setuju ungkapan ini, untuk dapat mengubah dunia ubahlah lebih dulu
dirimu?”
“Bodoh,”
Yoko menopang dagunya dengan salah satu jari, “Tidak satu pun manusia yang bisa
mengubah dirinya. Yang terjadi hanyalah orang-orang bergerak mendekati keaslian
mereka. Masing-masing hanya sanggup kembali kepada keadaan asal.”
“Maksud
Anda, kita semua sedang berjalan mundur?”
“Kau
pikir kita sedang membuat kemajuan? Sedang melakukan perbaikan?”
Yoko
menyembunyikan tangannya lagi, menutup rapat bibirnya hingga setipis lembaran crepes tanpa isi. Dinding putih
Societeit Concordia, gedung bekas kamar bola di zaman kompeni berkuasa mulai
memantulkan sinar matahari. Bayang-bayang keangkuhannya sedikit demi sedikit
jatuh di atas trotoar berkeramik.
Palo
Alto bukan Surabaya, di sana orang kaya bukan cuma satu dua. Setiap keluarga
hidup makmur dan—meskipun ada, orang miskin terlalu sedikit jumlahnya. Gaji
terakhirku sebagai spesialis cyborg tiga miliar setahun jika
dirupiahkan. Pekerjaanku pekerjaan impian, walau aku mengawalinya dari sebuah
keterlanjuran yang naif. Ketika kupamerkan kemeja seragam SMA yang penuh coreng
moreng tanda tangan, papa menyindir, “Apa hebatnya? Anak Shu’ Alim ndak perlu gitu-gitu, lulus,
langsung berangkat ke Amerika.” Apa yang lebih penting dari membuat kebanggaan
papa kepadaku sebesar kekagumanku kepadanya?
Begitu
Universitas Stanford membuka gerbang, kumulai hidup baru sebagai mahasiswa
imigran dengan uang saku pas-terbatas, cerita klasik yang kelak menarik untuk
diceritakan sebagai kisah motivasi. Pada tahun-tahun berat mendekati ke
lulusan, otakku memadat, rindu papa, mama dan rumah toko kami di Jalan
Panggung. Tidak bisa pulang karena kedutaan memberlakukan travel warning ke Surabaya setelah ada laporan
ancaman keamanan di hotel dan bank yang berafiliasi dengan negeri Obama. Kucoba
melelehkan lelah dengan berjalan-jalan, mendatangi kelas jurusan humaniora, di
situ Julia ada. Kearifan Asia menjadi pusat perhatiannya, jauh dari
ketertarikanku kepada semikonduktor. Tapi aku lantas begitu saja tersesat pada
mimpimimpinya yang serumit sirkuit dan rambutnya yang tembaga. Julia bertahan
denganku untuk beberapa waktu. Barangkali karena aku informan yang baik,
menjawab semua keingintahuannya tentang kehidupan orang-orang Tionghoa di
Indonesia. Tepukan sebelah tangan yang tak kusangka lama pupusnya.
Yoko
berjalan maju, mendekat ke bangunan paling ikonik di sepanjang jalan ini,
dulunya adalah clubhouse tempat sinyo-noni Belanda totok
di Surabaya berkumpul dan berdansa-dansi. Hampir seratus tahun silam, arsitek
G.C. Citroen merombaknya menjadi kantor perusahaan minyak, mengganti ornamen
klasiknya dengan elemen art
deco, mengubah arah pintu masuk jadi membelakangi Kalimas dan merubuhkan
balkon di lantai dua tempat meneer-mevrouw duduk-duduk bercanda ria. Tak
ada lagi pesta, orang datang ke sana untuk bekerja. Societeit Straat bukan lagi
sebuah kawasan pergaulan, mereka yang berdandan dan datang untuk menarik
perhatian bergeser ke Tunjungan, atau ke Simpangsche Straat beberapa waktu
kemudian. Jalan ini, hingga namanya diganti jadi Jalan Veteran, adalah jalan
bagi orang-orang kantoran.
“Anda
salah,” sangkalku, “Manusia berubah.” Yoko tak tampak tersinggung, tetap
tenang, air mukanya datar, “Dulu kukira juga begitu.” Lalu kenangan-kenangannya
tentang John meluncur acak, betapa ia tak tahu-menahu secuil pun tentang lelaki
ceking berkaca mata bulat yang datang sehari sebelum eksebisi perdananya resmi
dibuka. Pemilik galeri hanya mengenalkan pemuda itu sebagai miliarder—siapa
tahu berminat membeli salah satu karya yang di pajang. “John begitu ceriwis,”
cerocosnya. Bertanya macam-macam dan kentara sekali berusaha menarik hatiku.
Aku tak peduli sekali pun ia seorang front
man band terkenal
se-Inggris Raya, simbol kejayaan generasi bunga, pujaan pemuda-pemudi sedunia….
“Jujur
saja,” kusergah, “Sejak semula Anda telah menginginkannya.”
Yoko
terdiam, tulang pipinya yang tinggi tak menopengi terawang tatapannya, “Ya.
Tapi kami sering berselisih….”
“Bagaimana
Anda dapat terus mencintainya?”
Senyum
Yoko memuai sekejap, kulit wajahnya seputih susu murni, kental tanpa kerutan.
“Tak adakah sesuatu yang tetap dalam hidupmu?” Di hadapanku berdiri seorang
perempuan berumur lewat sewindu dengan binar kasmaran perawan kencur.
Aku
tak punya tujuan hidup. Seingatku, sampai sejauh ini aku selalu selamat hanya
karena kebetulan pintar dan bernasib baik. Murid terbaik di sekolah terbaik,
tidak berkelebihan tapi juga tak sampai kekurangan uang, jarang sakit, banyak
koneksi, belum sekalipun mengalami patah hati. Pada salah satu kencan di
cafetaria kampus, Julia pernah menginterograsiku panjang lebar, apakah masa
kecilmu bahagia, pernahkah dilecehkan, tertarikkah kau kepada sesama jenis,
bagaimana pendapatmu tentang pernikahan, apakah kau membaca karya-karya sastra
Yu Hua, apa rencanamu setelah ini—pulang ke negaramu—menikahi pacar SMA-mu atau
tetap di sini dan jatuh cinta kepada sembarang gadis yang kau temui?
“Kau
benar-benar pewawancara yang buruk,” kucium bibir tebal Amerikanya tanpa
bernapas, “Apakah jatuh cinta dapat direncanakan?”
Sungguhpun
demikian, menikahinya bukan tujuanku. Tak pernah terpikir membawa Julia ke
hadapan mama, papa, engkong, apalagi mengenalkannya kepada Mak Co. Membeli
apartemen dua lantai untuknya, mengambil alih semua beban finansialnya,
menyayangi bayinya jiwa raga, jelas bu kan pencapaian. Pengorbanan mungkin,
atau sekadar dorongan impulsif, entahlah. Setiap mengingatnya aku menyesal,
bertanya-tanya bisakah waktu diputar, bukan demi uang yang terbuang percuma,
melainkan agar dapat kupinang ia dalam sebuah makan malam romantis di restoran
Flea Street.
“Jadi,
mengapa kau pulang?” Yoko mengambil dari balik jaketnya block notes dan sebatang pensil charcoal,
mulai membuat sketsa Societeit Concordia dari arah utara. Ia telah menduga aku
akan butuh waktu untuk menjawabnya. Mama menelepon, papa terserang stroke
ringan, adik bungsuku akan melangsungkan pernikahan, sepupuku akan melahirkan,
teman-teman seangkatanku di sekolah Frateran merancang sebuah reuni
besar-besaran. Untuk semua itukah aku kembali ke Surabaya? Oh ya, sebenarnya
bos memintaku menjajaki pasar robot di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tentu
saja. Jadi tidak ada salahnya aku mampir ke rumah orang tua barang sepekan.
Terdengar durhaka? Bagaimana dengan surel Julia yang datang tiba-tiba? Ia berkabar
sedang memerlukan bantuan, setidaknya butuh pendapatku tentang rencananya
mengembangkan aplikasi pohon keluarga, sebuah program komputer yang
memungkinkan penggunanya merunut silsilah sampai ratusan turunan ke belakang.
Dengan begitu kita dapat mengenali asal-usul kita, jika perlu menelusuri kita
ini reinkarnasi siapa. Julia menutup suratnya dengan retoris, “Tidakkah kau
pikir kita perlu sebuah alternatif mekanisme ziarah, Ken? Bukan dengan
mendatangi kuburan-kuburan dan membongkar situs-situs kuno, tapi dengan
teknologi paling sekarang.”
Juliakah
yang mendorongku pulang? Sebab setelah sekian lama sejak kepergiannya, kalimat
terakhir dari emailnya itu bagai spora beterbangan dan menempel di
dinding-dinding otakku, tumbuh bersulur-sulur seperti tanaman rambat liar,
hingga kurasa tidak ada pilihan yang lebih baik kecuali menghindar.
“Kau
tahu apa yang akan lewat sebentar lagi di depanmu?” Yoko terus asyik dengan
gambarnya yang tidak taat skala, “Sebuah trem listrik.”
“Trem
listrik….” Aku sudah mendengar kabar itu sejak lama, kataku. Pemerintah
Surabaya berencana menghidupkan lagi jalur trem dalam kota. Aspal dan jalur
hijau akan dikeduk, rel perlintasan peninggalan Oost Java Stoomtram
Maatschappij yang terpendam di bawahnya akan difungsikan kembali. “Wajah kota
ini akan kembali seperti pertengahan abad sembilan belas….”
Yoko
mengerling jenaka. “Masih tak percaya, manusia tidak pernah mampu berubah?”
“Anda
lupa satu hal, manusia menciptakan teknologi,” aku membela diri, “Itu cara
manusia mengubah dirinya sendiri.”
Yoko
membuang muka. Angin menerpa dingin. Sebuah kereta dengan lokomotif menyerupai
moncong buaya melintas dari arah Jembatan Merah menuju selatan kota Surabaya,
berlogokan BoyoRail, berpenumpang anak sekolah, lelaki-lelaki berdasi,
perempuan-perempuan ber-rok mini, ibu-ibu menggendong bayi. Sejenak aku merasa
seperti melihat film dokumenter tua yang diperbarui warnanya. Tak ada asap,
kereta ini bukan kereta uap seperti yang pernah berjaya di era kolonial,
melainkan sebuah transporter masal yang konon ramah lingkungan karena
dioperasikan dengan baterai tanpa emisi, memihak rakyat kecil karena harga
karcisnya tidak lebih mahal dari harga setengah liter bensin, berkat subsidi.
Wisatawan memotret dengan kamera ponsel mereka yang berpiksel tinggi, sementara
anggota dewan yang melintas dengan mobil dinasnya melirik sinis, di atas
kepalanya tertiup gelembung kata, “Bagaimana bisa kota ini membangun sebuah
moda angkutan yang telah banyak ditinggalkan oleh kota-kota besar dunia?”
Yoko
tak mengucapkan apa-apa lagi, hanya dengan cepat meringkus hasil sketnya
menjadi seonggok bola kertas kecil dan melemparnya sembarangan. Kupungut dari
ujung kakiku, kubuka hati-hati. Hasilnya bukan gambar konstruksi yang presisi,
hanya persegi-persegi, jendela-jendela panjang yang rancu apakah itu detil
arsitektur bekas Societeit Concordia yang kini jadi gedung Pertamina, ataukah
eksterior Indica Gallery yang kini bahkan sudah tak ada bekasnya. Yoko membuat
banyak goresan, garis-garis yang kekanak-kanakan tapi begitu hidup, seakan
memanggil-manggil untuk diperbaiki di sana-sini, dimatangkan, diindahkan,
diwujudkan.
“Aku
pulang untuk sesuatu yang belum kuciptakan!” jawabku akhirnya. Mantap. Tegas.
Pasti. Ketika kuangkat kepala, Yoko sudah tak lagi di sana. Societeit Straat
telah kembali sepi. Trem listrik belum ada. ***
Tidak ada komentar: