Tukang Beri Makan Kucing
Jawa Pos Minggu 13 Maret 2016
Oleh Zelfeni Wimra
“Jangan sampai lupa
memberi makan kucing,” ucap suara lembut di seberang telepon seluler milik
Pudin sebelum percakapan berakhir. Itu suara bininya. Pagi itu, mereka baru
saja bercakap-cakap cukup lama. Bininya terdengar sangat menyukai perjalanannya
sejak dari Padang hingga ke Wamena, menemui anak cucu mereka.
Termasuk yang baru lahir,
cucu mereka sudah berjumlah sebelas. Tiga dari anak yang sulung, dua dari anak
nomor dua, dua pula dari yang nomor tiga. Sementara yang nomor empat baru punya
satu anak. Dan terakhir cucu yang baru lahir adalah cucu dari si bungsu yang
kini berada di Wamena. Suaminya membuka rumah makan di sana.
Semula Pudin menyukai
cerita-cerita bininya itu. Tapi, setelah percakapan diakhiri dengan sebuah
permintaan: jangan lupa memberi makan kucing, ulu hati mendadak terasa ngilu.
Entah mengapa. Bisa jadi karena pada malamnya, saat main domino di lepau, Pudin
tak putus-putusnya jadi pusat sindiran. Dia disebut-sebut sejawatnya seperti
kucing kehilangan tungku, yang berbulu kusut dan mata berair-air. Apalagi musim
hujan sudah datang. Seekor kucing yang kehilangan kehangatan biasanya begitu,
meremang, meriang, dan tidak lagi lincah. Berjalan melenggong letih dan
kehilangan selera makan.
Ataukah karena peristiwa
tiga hari sebelumnya, saat Pudin diminta datang ke rumah adik perempuannya. Di
sana rupanya sudah menunggu beberapa orang kerabatnya. Selesai makan malam
bersama, secara halus, salah seorang kerabat menanyakan sudah berapa lama bini
Pudin pergi menengok cucu di rantau?
Pertanyaan itu berkembang
menjadi berbagai anggapan dan komentar yang mengusik pikiran Pudin. Ada yang
menyarankan, kalau sudah lebih tiga bulan, apa tidak sebaiknya bini Pudin itu
disuruh pulang dulu. Kalaupun akhirnya harus kembali lagi, ya tidak apa-apa.
Ada pula yang mengatakan,
anak-anak Pudin kurang memiliki rasa dan periksa. Bukankah ibu mereka masih
punya tanggung jawab pada lakinya? Mengapa mereka begitu tega menggilir ibu
mereka dan membiarkan ayah mereka sendirian mengurus segala macam tetek-bengek
di rumah? Apa salahnya, kalau memang sudah kaya raya di rantau, carilah
pembantu?
Kerabat yang lain meminta
Pudin juga ikut sekalian bersama bininya. Tapi pendapat ini disanggah. Mana
mungkin Pudin biasa ikut pergi bersama bininya menengok cucu. Mereka punya
kerbau, kambing, itik, ayam, dan kucing. Siapa pula yang akan mengurus ternak
mereka itu?
Lagi pula, kebun dan
sawah mereka tidak ada yang akan menggarap. Sekarang susah menyerahkan
penggarapan sawah dan ladang kepada orang lain. Bukannya tidak ada yang mau.
Tetapi, memang orang yang akan menggarap dengan cara kerja sama itu tidak ada.
Sekarang semua penggarapan pertanian sudah main upah saja. Kalau main upah,
laba sukar didapat. Hasil panen bisa habis diserap pengeluaran untuk upah.
Kalaupun harus mengupah, para pekerja itu harus pula didampingi. Jika tidak
didampingi mereka bekerja sekenanya saja.
Adik perempuan Pudin yang
bekerja sebagai pegawai Pengadilan Agama, bercerita pula tentang tingkat
perceraian di kotanya yang semakin tinggi terjadi karena suami dan istri sering
tidak tinggal serumah. Bahkan angka cerai gugat oleh istri lebih tinggi
daripada cerai talak oleh suami. Cerita ini membuat suasana rumah malam itu
terasa sangat gelap bagi Pudin. Ia menunduk saja. Terpikir olehnya, apakah
rumah tangganya juga akan segera berakhir?
Kerabat Pudin, laki-laki
yang lebih tua, yang mereka panggil Datuk, justru lebih ketus menanggapi
kondisi Pudin. Menurut dia, ini sudah keterlaluan. Kaidah apa pun yang akan
dipakai, baik agama maupun adat, bini Pudin sudah boleh dikatakan bini yang
durhaka. Supaya tidak berlarut-larut, sebaiknya Pudin dicarikan saja bini baru.
Datuk mengingatkan, usia Pudin sudah mendekati 70 tahun. Usia yang rentan. Usia
yang kritis. Di usia sebegini, malam-malam justru akan terasa lebih dingin.
Pertemuan keluarga malam
itu berkahir tanpa keputusan apa-apa. Semua dikembalikan kepada Pudin. Sila
Pudin yang mengunyahnya. Biar Pudin yang menelannya. Para kerabat itu hanya
menyampaikan keprihatinan. Apa pun yang akan diputuskan Pudin, toh mereka juga
tidak pula akan ikut menemani Pudin melewati hidup di sisa usia.
Yang pasti, kepala Pudin
kini semakin disesaki beban pikiran. Sebelumnya Pudin memang sempat berpikir
sampai ke situ, tetapi segera ditepisnya. Teringat kelima putrinya tinggal di
rantau, jauh dari ibu mereka. Ketika mereka rindu ibu mereka dan ingin sang ibu
mengunjungi mereka, bagaimana pula menolaknya?
Namun, setelah mendapat
telepon dari bininya pagi itu, peristiwa beberapa hari belakangan memaksa Pudin
berpikir agak keras dari biasanya. Terlintas di benaknya, sebutan Datuk yang
mengatakan bininya sudah durhaka. Benarkah? Pudin masih ingin menjaga
keseimbangan pikirannya.
Pudin pernah belajar
fikih munakahat dan mengerti sekali bagaimana cara menasihat bini yang durhaka
pada lakinya. Pertama, berilah bini durhaka itu nasihat yang baik. Jika nasihat
itu tidak membuatnya berubah, maka ketika tidur, jangan pernah menyentuhnya,
tidurlah dalam keadaan miring dan memunggunginya.
Andaikata itu juga tidak
mempan, maka jangan tiduri ranjangnya. Tidurlah di tempat yang terpisah
darinya. Kalau masih belum juga membuat sadar, maka laki boleh memukulnya
dengan pukulan yang mendidik. Bila semua tahapan itu sudah dilakukan, namun si
bini tidak juga mengubah perangainya, maka si laki boleh menceraikannya. Huh!
Pudin sangat mengerti
bagaimana cara melakukannya. Tapi apa hendak dikata, jangankan melakukan semua
itu, bertemu dengan bininya saja sudah tidak dialaminya sejak lebih tiga bulan
lalu. Bininya kini sedang di Wamena, setelah sebelumnya dari kota mereka Padang
menuju Palembang rumah si sulung. Ke Bandung rumah anak nomor tiga. Ke Jogja,
rumah anak nomor dua. Ke Denpasar, anak nomor empat. Dan ke Wamena, rumah si
bungsu. Anak-anak mereka kini sedang berada di kota-kota itu sesuai tuntutan
kerja masing-masing. Bini Pudin ke sana karena menyambut kelahiran cucu. Karena
minta tolong mengasuh. Ada pula hanya karena rindu yang tidak tertahankan ingin
tinggal bersama ibu mereka.
Anak Pudin dan bininya,
Inur, berjumlah lima orang, perempuan semua. Jarak usia mereka rata-rata dua
tahun. Semua bersuami, pun dengan jarak yang tidak lama. Bahkan yang sulung dan
nomor dua menikah di waktu bersamaan. Disusul nomor tiga, empat, dan si bungsu
dengan jarak sekira setahun setengah.
Bila ingat semua yang
kini dimilikinya, Pudin sebenarnya sanggup menerima keadaan ditinggal bini
seperti sekarang. Segala karunia yang dimilikinya itu mampu menghangatkan
hatinya, menambah semangat kerjanya. Tapi seperti juga orang lain, selalu memiliki
batas-batas, termasuk dalam hal mengelola kesabaran.
Pudin membuyarkan semua
gejolak dan kemelut dalam batinnya itu. Ia melangkah ke dapur. Seperti
hari-hari biasa, sejak lebih tiga bulan lalu, ia akan mengurus sendiri sumur,
dapur, dan kasurnya.
Saat menyentuh periuk
untuk memasak air, terngiang lagi aneka masukan dari kerabatnya. Melintas pula
gelak tawa sejawatnya sesama pemain domino di lepau. Jelas tergambar bagaimana
bahasa tubuh dan kata-kata mereka menyindir dirinya seperti kucing kehilangan tungku.
Kembali, semua itu
dibuyarkan oleh Pudin. Ia kini menyauk air untuk dimasak. Ia butuh segelas
kopi. Barangkali aroma kopi bisa membantu memperbaiki kesehatan perasaan dan
akalnya. Sambil menunggu air mendidih, ia ambil dedak dan sisa nasi. Ia
campurkan untuk makan itik dan ayam yang di kandangkan di belakang rumah.
Setelah ayam dan itik
diberi makan, Pudin membuka songkok nasi. Memeriksa apakah lauk pemberian adik
perempuannya masih ada. Lalu setelah air mendidih, ia seduh segelas kopi.
Sembari itu, ia mengganti pakaiannya. Ia bersiap pergi ke sawah sekalian
menyabit rumput untuk kerbau dan kambingnya. Itulah rencana yang selalu Pudin
gulirkan sepanjang hari.
Ketika akan menuju
songkok nasi menyantap sarapan dan menyeruput kopi, terdengar suara piring jatuh
berderai. Pudin bergegas menuju asal suara itu.
Rupanya piring berisi
gorengan ikan pemberian adik perempuannya tiga hari lalu jatuh tersenggol
kucing betina gendut milik bininya. Saat mengganti pakaian kerja, Pudin lupa
menutup songkok. Gorengan ikan itu sebagian sudah disantap si kucing, sebagian
lain berserakan di lantai.
Pudin naik pitam. Tak
tentu apa yang mesti dilakukannya. Perut lapar, kerjaan sudah menunggu, sarapan
ditumpahkan dan dimakan pula oleh kucing kesayangan bini. Suara geram mendengus
di hidung Pudin. Kaki kirinya sudah terayun ke belakang, siaga untuk menendang
kucing yang sedang hamil itu. Untung saja perasaan iba cepat mendinginkan
kepalanya. Apalagi, di saat yang bersamaan, suara lembut bininya mengiang:
“jangan lupa memberi makan kucing.” ***
Tidak ada komentar: