Tuan Tanah
Jawa Pos - Minggu 20 Maret 2016
Oleh Indah Darmastuti
KULETAKKAN gagang telepon setelah suara di seberang sana mengucap
“terima kasih, selamat malam.” Debar jantungku masih kencang. Aku harus
secepatnya mencari tiket pulang untuk kakak. Dia tidak boleh terlalu lama
tinggal di sana, atau sesuatu yang buruk akan menimpanya. Oh, tidak! Itu tak
boleh terjadi. Paling lambat besok sore aku harus sudah mendapatkan tiket. Saat
ini sudah terlalu larut untuk mengurusnya. Penerbangan apa pun tak jadi soal
yang pen ting secepatnya bisa membawanya pulang.
Kabar tengah malam itu
sungguh buruk. Berpotensi membuat insomniaku kumat. Aku masih shock dan tertekan oleh kabar dari
Anastasia, perempuan yang mengaku kawan kakak. Sekitar lima jam yang lalu,
kakak kejang-kejang. Itu kali ketiga kakak tiba-tiba roboh ke tanah lalu kejang
dengan mata membeliak. Membuat penduduk setempat tercekam ngeri dan ketakutan.
“Kitorang sangat khawatir. Kemungkinan ada yang tra suka pada Lucia. Lalu dorang meminta bantuan ‘tuan tanah’
untuk membuat Lucia sakit kejang. Para tetua su melakukan ritual pengusiran roh
jahat tiga minggu lalu saat Lucia kejang yang kedua. Tetapi tra ada artinya. Buktinya, hari ini
Lucia kejang lagi.” Suara dengan logat khas Indonesia Timur itu menuturkan. Ia
mengaku tinggal tak jauh dari rumah kakak.
“Tuan tanah?”
“Betul. Tuan tanah itu
roh jahat yang menguasai lautan, hutan, lembah-lembah kegelapan. Kitorang takut tuan tanah akan memangsa
Lucia,” Aau tergugu.
“Apakah kakak Lucia punya
musuh di sana?”
“Setahu sa tra ada musuh,” buru-buru Anastasia
menjawab yakin.
“Maaf, kami merepotkan
kawan-kawan di sana.”
“Tra soal. Kitorang hanya khawatirkan Lucia.”
Aku menggigit bibir. Lalu
apa? Kakakku tak punya musuh, karena memang dia perempuan yang baik hati, aku
yakin itu. Tidak gegabah dalam bertindak, sedikit tertutup dan cukup pendiam.
Lemah lembut dan manis budi bahasanya. Lantas apa yang menjadi alasan sehingga
ia dibenci entah siapa sehingga mereka tega mencelakai kakak.
Atau mungkin pikiran
kacau dan hati kosong sangat mudah dirasuki roh jahat yang penasaran lalu
mencari mangsa. Dulu aku sempat curiga kepergian kakak karena ia ingin pergi
sejauh mungkin dari Yudha, kawan kantor yang telah memutus cintanya lalu
menikahi kawan dekat kakak. Ketika kusampaikan itu, kakak membantah. Kakak ngotot
bahwa kepergiannya bukan karena patah hati, bukan karena ingin membuang
kepedihan dengan pergi menyeberang laut bermil-mil jauhnya. Tetapi kakak pergi
karena memang ingin pergi.
Aku risau. Menyesal
mengapa dulu tak bisa menahan kakak agar tak pergi. Bagaimana pun pergi dalam
keadaan jiwa terguncang pastinya sangat riskan, apalagi ia pergi seorang diri.
Tetapi kakak tak terbelokkan. Lemah lembut pembawaannya sangat bertolak
belakang dengan kemauannya yang keras, sekeras jalan hidup kami sepeninggal ayah
dan ibu di hari nahas itu.
“Sudah kamu pikirkan
dengan matang, Luci?” Tante menyangsikan.
“Sudah tante. Luci yakin,
seandainya ayah dan ibu masih hidup, pasti mereka tak keberatan dengan
keputusan Luci. Bahkan mereka pasti mendukung Luci untuk hidup mengabdi.”
“Tega sekali kakak pergi
meninggalkan aku. Kita hanya dua bersaudara. Mengapa kita harus berjauhan?”
rajukku setengah putus asa waktu itu.
“Hidup kita ini bukan
hanya milik kita pribadi, Karin. Tetapi milik orang lain juga. Apa salahnya
kakak pergi untuk membaginya kepada anak-anak di pelosok sana?”
“Tetapi kakak belum
pernah ke sana. Hanya ada kenalan yang sudah lama tidak bertemu. Apakah itu
sebuah jaminan?”
“Pada hakikatnya hidup
kita adalah laku dan seorang diri saja menjalani. Kita lahir juga belum tahu
seperti apa dunia yang akan kita tinggali. Dan kita baik-baik saja.”
“Itu beda, Kak. Kita
lahir ditunggui dan dinanti oleh orang-orang tercinta.”
“Tahu dari mana? Kita tak
pernah diberi tahu sebelumnya. Dan kakak yakin di sana pun kakak dinanti oleh
berpasang-pasang mata lugu, berpasang tangan kecil yang menyambut tangan kakak.
Yakinlah, kakak akan baik-baik saja.” Segala protesku dan ungkapan keberatan
dari om dan tante tak membengkokkan hati kakak.
Dulu saat berangkat, ia
berjanji setelah dua atau tiga tahun mengabdi, mengajar di pedalaman, ia akan
kembali. Tetapi belum genap satu tahun, aku menerima kabar buruk, beberapa jam
yang lalu.
Selama ini kakak tak
pernah menceritakan ada persoalan dengan kawan atau entah siapa. Tidak! Kakak
baik-baik saja. Atau kakak sengaja menyembunyikannya, mengingat ia memang
penyendiri dan tertutup.
Masih kuingat sepuluh
bulan lalu, pagi buta kakak berangkat. Kuantar menuju bandara. Jaket biru tua
membalut tubuh mungil dan kulit langsatnya. Rambut hitam ikal panjang tergerai.
Tangannya menyengkeramhandle travelbag saat ia pamit untuk check-in. Aku dan dia saling
melambai tangan, kupesan agar menjaga kesehatan, dan jangan sampai lupa memberi
kabar.
“Aku akan selalu kangen
padamu!” ucapku dengan hati haru.
“Aku pun sama. Jaga diri
baik-baik, adikku.” Air mataku nyaris tumpah kala itu. Tetapi keteguhan hati
kakakku sudah cukup menghiburku, bahwa ia akan baik-baik saja di seberang laut
Arafura. Aku yakinkan diri bahwa kelembutan hati dan keluhuran cita-citanya
akan sanggup menaklukkan kerasnya hidup jauh dari keluarga.
Aku menoleh pada jam
dinding. Hari sudah berganti. Aku kembali ke kamar. Mas Odie terjaga, duduk di
kursi samping tempat tidur. “Ada apa? Aku terjaga kamu tak ada.”
“Soal kakak. Besok kita
harus mencari tiket pulang untuk kakak.”
“Semendadak ini?”
“Kawannya tadi menelepon.
Kakak kejang-kejang. Sudah tiga kali terjadi. Menurut mereka, kakak diganggu
‘tuan tanah’—roh jahat penguasa kegelapan. Mereka khawatir kakak akan
dimangsa.”
“Sungguh begitu?”
“Tetua di sana sudah
mengadakan ritual untuk mengusir roh jahat itu. Intinya kakak harus pulang. Aku
tak mau sesuatu terjadi atas dia.”
“Baiklah, kita pikirkan
besok. Sekarang tidurlah. Sudah dini hari ini. Aku akan mengurus dan mencarikan
tiket untuk kakak, besok.”
Esoknya, sebelum aku dan
Mas Odie mencari tiket, aku menelepon kakak untuk segala persyaratannya. Dan ia
menjawab dengan suara biasa-biasa saja. Tak ada hal yang mencurigakan. Saat aku
mengatakan bahwa kami sedang mengurus tiket untuk kepulangannya, ia terdiam
agak lama.
“Mengapa, Karin? Mengapa
aku harus pulang? Kau baik-baik saja, kan? Atau kerabat kita ada yang sakit?”
pertanyaan kakak tak putus-putus itu membuatku bingung.
“Aku tak ingin sesuatu
terjadi pada kakak. Pokoknya kami ingin kakak pulang.” Hening. Ada desah napas
kakak, halus dan pelan.
“Ada yang meneleponku
semalam. Mengabarkan bahwa kakak sakit. Untuk kali ini aku mau kakak tidak
membantah dan menurutlah kepada kami. Kami tak mau kakak celaka.” Ada suara
tarikan napas dari sana, dalam dan berat. Baru akhirnya kakak mengatakan:
“Baiklah.”
Tetapi ternyata tak
semudah yang kami sangka. Untuk memulangkan kakak harus menyelesaikan banyak
hal, dan menyesuaikan banyak jadwal. Sehingga baru seminggu kemudian tiket
pulang untuk kakak bisa kami dapatkan.
Siang menjelang sore itu,
aku dan Mas Odie menjemput kakak di bandara yang sama dengan sepuluh tahun lalu
saat aku mengantarnya. Berkali-kali Mas Odie mengingatkan agar aku tak terlalu
cemas.
“Dan bersikaplah
sewajarnya, agar kakak tak merasa bersalah telah membuatmu repot, Karin. Kamu
tahu watak kakakmu. Kamu harus melihat dia sebagai kakak yang hebat dan tegar.
Kamu harus menyambutnya sebagai kakak yang sehat dan sangat kamu rindukan.
Jangan kau sambut dengan belas kasihan.” Aku mengiyakan sambil tersenyum,
betapa suamiku sangat pintar mengambil hati kakak kala itu, kakak yang menjadi
pengganti orang tuaku.
Dari mikrofon suara
lembut namun tegas terdengar, mengabarkan bahwa pesawat dari ujung timur akan
segera mendarat. Tak bisa ditipu kalau aku berdebar karena cemas dan rindu.
Kuremas-remas jari tanganku, sambil mata mencari sosok mungil berkulit langsat.
“Kakaaak…,” teriakku pada
perempuan berambut ikal. Ia melambai. Tawa lebar dan mata berbinar. Kami
berpelukan erat dan sangat lama. Tanpa basa-basi kami langsung bergandengan
beriringan dengan Mas Odie menuju mobil yang kami parkir sedikit jauh. Aku
mengamati kakakku biasa-biasa saja. Malah badannya lebih berisi, kulit pipinya
tampak segar. Tetapi sedetik kemudian, ia tampak gusar. Lalu kami tersedot hening.
“Penerbangannya
menyenangkan?” tanya Mas Odie.
Ia mengangguk.
“Kita mampir cari makan
dulu. Ada makanan yang dikangeni kakak? Nasi liwet? Nasi gudeg? Timlo? Bakso?
Atau?” tanya Mas Odie lagi.
“Apakah di rumah tidak
ada makanan? Aku lelah, ingin lekas istirahat.”
“Oh, kalau begitu, kita
beli yang berkuah panas, kita bawa pulang saja.” Putusku dan langsung mengorder
Mas Odie untuk segera menuju restoran langganan.
Sesampai di rumah, kuurus
semua bawaan kakak dan kuminta ia segera mandi lalu istirahat, sementara Mas
Odie menyiapkan makan malam dan memasak air untuk membuat teh panas.
Tiba-tiba, di depan
kamarku ada suara gedebug dan teriakan cukup keras. Ada yang roboh. Nyaris
bersamaan aku dan Mas Odie berlari mendekat. Kakakku tergeletak di dekat pintu.
Bola matanya hanya terlihat bagian putihnya. Tangan dan kakinya kejang-kejang.
Mulutnya penuh busa. Kami berdua gugup berpandangan.
“Epilepsi!” Gumam Mas
Odie berusaha tenang. Beberapa saat kami terkurung diam sebelum akhirnya Mas
Odie mengangkat kakak, ia pindahkan ke sofa dan kunyalakan kipas angin.
“Ini bukan pekerjaan
‘tuan tanah’, Karin. Tetapi…” Mas Odie menatapku.
“Teleponlah kawanmu yang
dokter itu. Segera! Tanyakan apa yang harus kita lakukan.” Air mataku berderai.
Sejak kapan kakakku menderita ayan? Sejak kapan dia menderita epilepsi?
Tangisku tak juga terhenti. ***
Tidak ada komentar: