Kekayi
Jawa Pos - Minggu 5 Februari 2017 halaman 7
Oleh
Oka Rusmini
Perempuan tua itu masih menyisikan gurat-gurat kecantikan yang tidak dimiliki perempuan-perempuan lain di negeri ini. Matanya tajam, mata seorang penari yang begitu menggoda. Jika menatapnya, lelaki pasti akan bertekuk lutut dan menghamba kepadanya. Kerlingnya bisa mematahkan hati. Lelaki paling setia pun akan tunduk, takluk, dan melupakan istri yang dicintainya.
Mata itu mampu mengatur hidupnya, sesuai
dengan keinginan dan kebutuhannya. Dialah perempuan yang sadar bahwa tubuh
perempuan adalah alat, tepatnya senjata mematikan! Jika perempuan mampu
memainkan dengan baik dan penuh percaya diri, tubuh itu bernama: kekuasaan!
***
Perempuan tua itu juga suka menggulung
rambutnya yang mulai berubah warna tinggi-tinggi, untuk memperlihatkan
tengkuknya menggairahkan. Lehernya begitu jenjang, keriput tapis yang menghias
kulit lehernya justru menjadi semacam aksesori, menambah gairah orang-orang
berjalan tegak dengan kepala sedikit mendongak.
Sanggulnya selalu dihias bunga cempaka
berjejer, jumlahnya selalu ganjil. Jika hari kelahirannya, Anggara-Ugu, tiba,
perempuan itu hanya meneguk air putih dan makan semangkuk kuncup melati. Mengunyahnya
tanpa pernah membuka mulut. Menjelang tengah malam, dia Kam mandi kembang tujuh
macam tujuh warna.
Jika berdekatan dengannya akan tercium
bau wangi yang misterius, sedikit mistis, karena perempuan tua itu melabur
rambutnya Yat kelabu dengan minyak sendiri, kemudian dimasukkan ke dalam botol
besar yang berbentuk mirip bambu yang memiliki tutup botol runcing, bergerigi
sangat tajam. Di dalamnya ia masukkan pula potongan bunga kenanga dan irisan
daun pandan berduri.
Warna kelabu rambutnya justru menambah
kecantikannya. Kecantikan yang masih terlihat tegas dan nyata. Kecantikan yang
memiliki Takus yang kuat.
Tubuhnya ramping. Jika dilihat dari
belakang, banyak orang berpikir bahwa perempuan itu adalah perempuan muda yang
sangat cantik. Wajahnya juga masih memancarkan kecantikan memukau. Bahkan seorang
kusir kuda berumur belasan tahun, terinjak kudanya sendiri ketika takjub
menatap perempuan itu.
***
Sudah puluhan tahun perempuan itu selalu
menghadap arah matahari, berharap dewa matahari bersimpati pada hidupnya, pada
pengorbanan yang telah dia lakukan untuk hidupnya. Dia tahu, menjadi lakon di
atas panggung hidup ini tidak ada yang gratis! Apa yang diambil harus dibayar. Yang
datang pasti akan pergi. Yang hidup pasti akan mati. Cinta akan bertemu benci. Begitu
hukum kehidupan ini. Tetapi mengapa hidup hanya merenggut semua miliknya, tanpa
mau membayar kepadanya? Bahkan ratusan doa yang dia panjatkan dalam satu jam
selama puluhan tahun Belum dia rasakan. Kalau hidup berlaku tidak adil padanya pada
siapa dia harus mengadu? Protes dan mara?
Ke mana doa-doa yang yang telah dia
dipanjatkan mengalir jika tubuhnya mulai berkerut, mirip kulit pohon Kamboja yang
berjejer di depan kamar tidurnya. Dia selalu terjaga di pagi hari dengan amarah
yang siap meledak. Kesabaran itu ada batasnya, perempuan hamil pun ingin segera
memuntahkan dagingnya. Saat ini tak ada lagi yang bisa dipercaya kecuali matahari.
Perempuan tua itu begiru mencintai
matahari, seperti dia mencintai Ed=irinya sendiri. Juga hidupnya. Jika matahari
diusir menjelma gelap. Kesedihan mengapung hari dan pikirannya. Tetapi dia
tidak ingin menumpahkan butiran air matan yang bulat dan indah. Baginya malam
hari adalah saat paling membosankan dalam gidupnya.
“aku tidak suka bau malam!”
“kenapa? Malam justru menaburkan
kedamaian. Keheningan. Kau bisa berbicara dengan dirimu sendiri. Aku menyukai
malam, karena malam membuatku paham arti hidup bukankah para penyair selalu
terjaga pada malam hari untuk menuliskan hal-hal indah dalam hirup ini?”
“aku tidak suka bau malam”
“kenapa?
“malam membuat hidup ini tidak lagi
menarik/ malam membuat hidup ini jadi cengeng dan melankolis. Aku tidak suka
malam! Malam membuatku jadi perempuan lemah/ perempuan cengeng! Perempuan yang
selalu mengeluh pada idap! Perempuan yang menyesali perjalanan hidupnya sendiri.
Hidup yang dipilihnya sendiri. Aku benci hal-hal yang berbau perasaan, firasat,
dan hal-hal yang bagiku sudah tidak masuk akal. Cengeng”
“dulu kau suka para penyair mengidungkan
karya-karya mereka di depanmu.”
“itu karena aku bodoh!”
“apa maksudmu?! Kau bukan perempuan
bodoh!”
“aku bodoh, hanya perempuan bodoh yang
mau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang membuat dirinya mabuk. Tak ada
keindahan dalam cinta! Romantisme. Puisi-puisi cinta, tatapan penuh kasih,
kesetiaan, itu semua bohong! Aku mabuk pada diri sendiri. Terbenam dalam lautan
kesedihan yang paling dalam. Ketika muda, aku adalah perempuan tolol! Yang mau
saja dihidangi kidung-kidung cengeng. Membiarkan orang-orang datang menikmati
kecantikanku. Tubuhku! Merampasnya dengan cara terhormat tanpa aku sadar. Mereka
telah mencuri hidupku. Mencuri masa depanku! Kidung-kidung cinta itulah yang
membuatku mabuk dan bodoh.”
“kau menyesal jadi kekayi?”
“tidak! Aku menyesali kebodohanku
sendiri. Aku tidak menyalahkan orang-orang yang menaburkan mimpi kosong ke
dalam hidupku. Aku juga tidak menyesal orang-orang menikmati kecantikanku dan
kemudaanku. Yang membuat aku menyesal, hidup telah memperlakukan aku tidak
adil. Aku merasa dikhianati oleh hidup itu sendiri. Karena aku perempuan bodoh,
perempuan yang tidak paham keinginannya sendiri. Perempuan yang mabuk karena
kecantikannya. Kemudaannya.
Aslinya aku perempuan tolol/ tolol
sekali! Bahkan aku tidak mampu mengembalikan anakku. Aku tidak mampu meraih
anak yang dua belas bulan hidup di tubuhku. Merampas seluruh makananku. Merampas
pikiranku. Merampas rasa laparku. Merampas tubuhku. Kadang, pada tengah malam
ia merampas napasku. Mungkin daging itu menginginkan aku mati pada tengah
malam.”
“ah... pikiranmu selalu aneh-aneh.”
“aku tidak sedang berpikir. Aku sedang
bercerita tentang hidupku sebagai perempuan muda. Hidupku sendiri. Hidupku yang
kupilih dan ku yakini sendiri. Hidup yang telah ku sia-siakan sendiri. Aku bercerita
padamu, kuharap kelak kau bisa menuliskannya menjadi kidung kakawin, atau
serat. Aku tidak ingin diam saja, karena orang-orang tidak akan tahu pikiranku.
Perjuanganku. Mereka hanya tahu aku perempuan cas! Perempuan jahat! Mereka harus
tahu, aku juga punya mimpi dan cita-cita untuk hidupku dan keturunanku. Ku telah
berkorban banyak dalam hidup ini. Juga untuk anak-anakku!”
“kau tidak lagi muda, Kekayi!”
“aku tahu!”
“umurmu...”
“umurku mungkin seratus tahun? Atau seribu
tahun. Aku tidak peduli angka-angka itu. Mau apa kau?! Kau percaya pada waktu? Aku
tidak! Waktu telah lama berkhianat padaku. Aku tak percaya lagi padanya! Aku tidak
peduli usiaku. Aku hanya peduli pada hidupku. Aku merasa, aku telah melakukan
banyak hal untuk membuat pilihan hidupku menjadi impianku sebagai perempuan
muda. Melahirkan raja=raja. Hidup sejahtera. Mendapatkan lelaki yang bisa
mengangkat statusku makin tinggi. Kalau bisa melebihi status sosial dan ekonomi
perempuan yang ada di negeri ini. Sejak haid pertama, aku melakukan apa. Memohon
pada para dewa. Sah lama aku tidak menyentuh daging. Aku memutih. Semuanya kulakukan
untuk hidupku sendiri!”
“ah... kekayi. Ambisimu telah
membunuhmu!”
“ambisi? Kau salah menilaiku. Bagiku perempuan
yang tidak memiliki ambisi, lebih baik mati saja! Aku telah menyerahkan seluruh
hidupku. Seluruh keindahan tubuhku untuk mimpiku. Aku tak paham cinta. Aku tak
paham berbagi gairah dengan lelaki. Yang merobek tubuhku dan melukaiku adalah
Dasarata, lelaki tua yang begitu mabuk pada kemudaanku. Dia lebih cocok menjadi
kakekku dibanding menjadi suamiku. Aku tidak pernah merasakan apa pun saat
bersamanya. Bahkan ketika kami bersenggama, rasa sakit melumuri seluruh
tulang-tulang dan urat tubuhku. Tak sepotong manusia pun dititipkan di rahimku.
Oleh lelaki tua angka itu! Nafsunya yang menggebu telah melunturkan hasratku,
lelaki tua itu tidak akan mampu menitipkan benih di rahimku. Berhari-hari aku
harus melayaninya. Dia tidak peduli seluruh tubuhku sakit. Untungnya para dewa
tahu diri. Sejak haid pertama sampai di sunting Dasarta, aku memilih tetap
dalam tapa, memutih. Tidak makan apa pun selain nasi putih dan air putih.”
“apa yang sesungguhnya kau inginkan
sebagai perempuan?”
“aku ingin dicintai secara tulus oleh
orang-orang yang ku besarkan. Manusia-manusia
yang tumbuh dalam tubuhku. Ku pelihara dengan rasa akut. Apakah Bharata
tahu itu? Apakah Bharata tahu sulitnya menjadi perempuan? Sulitnya menjadi ibu?
Sulitnya memelihara di dalam kandunganku, di tubuhku! Orang-orang yang tumbuh
dalam tubuhku telah melukai pengorbananku sebagai Kekayi. Bharata anak lelakiku
menolak menjadi raja. Dan memakiku dengan kata-kata kotor.”
“kau tidak cocok jadi ibuku. Jika aku
boleh memilih, aku tidak ingin mengeram dalam tubuhmu, Kekayi! Aku malu punya
ibu culas macam kau! Ibu yang menginginkan hak yang bukan menjadi haknya. Ibu yang
menghancurkan anaknya sendiri karena keinginannya yang tidak masuk akal. Aku menyesal
dan mengutuk diriku sebagai manusia! karena terlahir dari rahimmu. Kau telah
membuat hidupku penuh benci karena ambisimu. Kau telah melukai dan menistakan
hidupmu dan hidup anak-anakmu. Kerajaan ini adalah milik Rama. Bukan milikku. Kau
lihat sendiri di luar sana. Rakyat menatapku dengan tatapan aneh. Tatapan penuh
iba. Sekaligus benci. Kau telah membuatku menjadi anak yang tidak berbakti! Anak
yang dilecehkan sepanjang hidupku. Karena aku memiliki ibu seperti mu. Aku menyesal
menjadi anakmu!”
Begitulah Bharata, anak lelaki tampan
yang telah dirawat Kekayi dengan cinta dan doa yang tulus. Telah melukai hati
perempuannya. Hati seorang ibu. Hati seorang perempuan yang sesungguhnya telah
lama patah hati.
Tidak ada yang paham luka yang terus
melumuri hidup Kekayi. Sejak muda perempuan itu selalu menghabiskan waktu
bertapa. Memohon pada dewata agar memilihnya menjadi perempuan yang melahirkan
raja-raja Best.
Sejak kecil Kekayi sadar, sebagai anak
angkat raja Kekaya, posisinya sangat lemah. Dia tidak mungkin menjadi ratu,
menggantikan Kekaya memimpin kerajaan Padnapura. Padahal sejak kecil, ketika
beruur dua belas tahu dan diangkat anak oleh Kekaya, Kekayi selalu membayangkan
duduk dengan kepala tegak di kursi singgasana Padnapura. Bahkan dia telah
mempersiapkan diri untuk menjadi lelaki. Kekayi sejak kecil selalu minta
dilatih bela diri, melempar tombak berburu dan melakukan hal0hal yang biasanya
tidak dilakukan anak perempuan. Kekayi akan marah besar jika Kekaya menolak
permintaannya untuk bertarung dengan anak lelaki. Dan di setiap pertarungan
dengan Kekayi akan berpakaian seperti lelaki, sehingga para petarung tidak
melihatnya sebagai perempuan. Di setan pertarungan Kekayi selalu mudah
menaklukkan lawan.
Tetapi usaha kerasnya untuk melanjutkan
pada Kekaya bahwa dirinya layak diperhitungkan sebagai salah satu calon
penguasa sia-sia. Kekaya telah mempersiapkan putra mahkota. Seseorang yang
lebih tua dari Kekayi. Putra mahkota yang sejak lahir sadar akan haknya sebagai
penguasa. Lelaki bodoh, pemalas, dan sombong! dia juga memperlakukan para
perempuan muda di kerajaan dengan tidak hormat.
Satu pagi, dia meremas dada Kekayi,
menepuk bokongnya sambil tertawa, bersama para pengawal dan saudara-saudara
lelakinya. Kekayi menggunakan bagian ujung tangan – bagian yang bersentuhan
langsung dengan objek – untuk memukul objek. Semakin kecil dan lancip ujung
tangan yang digunakan untuk memukul, semakin mudah untuk meremukkan objek. Itu petunjuk
dari Futuna. Kekayi pun mempraktikkan dengan riang teknik melumpuhkan lawan
itu. Hasilnya, gigi calon raja itu rompal. tangan kanannya patah. Leher terkilir.
Sejak itu,
lelaki bertubuh badut itu tak berani menyentuh dan menatapnya. ***
Oka
Rusmini
menulis puisi, cerpen, novel. Peraih SEA Write Award di Thailand (2012) untuk
novel Temprung dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014
untuk buku puisi Saiban. Tinggal di Denpasar, Bali.
Tidak ada komentar: